SEJARAH
LUBANG BUAYA
Pada 1 Oktober 1965 telah
terjadi penculikan dan pembunuhan enam orang jenderal dan seorang perwira
pertama AD yang kemudian dimasukkan ke sebuah sumur tua di desa Lubang Buaya,
Pondokgede oleh pasukan militer G30S. Pasukan ini berada di bawah pimpinan
Letkol Untung, Komandan Batalion I Resimen Cakrabirawa, pasukan pengawal
Presiden.
Pada 4 Oktober 1965, ketika
dilakukan penggalian jenazah para jenderal di Lubang Buaya, Mayjen Suharto,
Panglima Kostrad menyampaikan pidato yang disiarkan luas yang menyatakan bahwa
para jenderal telah dianiaya sangat kejam dan biadab sebelum ditembak.
Dikatakan olehnya bahwa hal itu terbukti dari bilur-bilur luka di seluruh tubuh
para korban. Di samping itu Suharto juga menuduh, Lubang Buaya berada di
kawasan PAU Halim Perdanakusuma, tempat latihan sukarelawan Pemuda Rakyat dan
Gerwani. Perlu disebutkan bahwa Lubang Buaya terletak di wilayah milik Kodam
Jaya. Di samping itu disiarkan secara luas foto-foto dan film jenazah yang
telah rusak yang begitu mudah menimbulkan kepercayaan tentang penganiayaan
biadab itu. Hal itu diliput oleh media massa yang telah dikuasai AD, yakni RRI
dan TVRI serta koran milik AD Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha. Sementara
seluruh media massa lain dilarang terbit sejak 2 Oktober.
Jadi sudah pada 4 Oktober itu
Suharto menuduh AURI, Pemuda Rakyat dan Gerwani bersangkutan dengan kejadian di
Lubang Buaya. Selanjutnya telah dipersiapkan skenario yang telah digodok dalam
badan intelijen militer untuk melakukan propaganda hitam terhadap PKI secara
besar-besaran dan serentak. Dilukiskan terdapat kerjasama erat dan serasi
antara Pemuda Rakyat dan Gerwani serta anggota ormas PKI lainnya dalam
melakukan penyiksaan para jenderal dengan menyeret, menendang, memukul,
mengepruk, meludahi, menghina, menusuk-nusuk dengan pisau, menoreh silet ke
mukanya. Dan puncaknya kaum perempuan Gerwani itu dilukiskan sebagai telah
kerasukan setan, menari-nari telanjang yang disebut tarian harum bunga, sambil
menyanyikan lagu Genjer-genjer, lalu mecungkil mata korban, menyilet kemaluan
mereka, dan memasukkan potongan kemaluan itu ke mulutnya….
Maaf pembaca, itu semua bukan
lukisan saya tapi hal itu bisa kita baca dalam koran-koran Orba milik AD yang
kemudian dikutip oleh media massa lain yang boleh terbit lagi pada 6 Oktober
dengan catatan harus membebek sang penguasa serta buku-buku Orba. Lukisan itu
pun bisa kita dapati dalam buku Soegiarso Soerojo, pendiri koran AB, yang
diterbitkan sudah pada 1988, .Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai. Anda juga
dapat menikmatinya dalam buku Arswendo Atmowiloto yang direstui oleh pihak AD,
Pengkhianatan G30S/PKI, yang dipuji sebagai transkrip novel yang bagus dari
film skenario Arifin C Noer dengan judul yang sama yang wajib ditonton oleh rakyat
dan anak sekolah khususnya selama bertahun-tahun. Dan jangan lupa, fitnah ini
diabadikan dalam diorama pada apa yang disebut Monumen Pancasila Sakti di
Lubang Buaya. Meski monumen ini berisi fitnah, tapi kelak jangan sampai
dihancurkan, tambahkanlah satu plakat yang mudah dibaca khalayak: “Di sini
berdiri monumen kebohongan perzinahan politik”, agar kita semua belajar bahwa
pernah terjadi suatu rezim menghalalkan segala cara untuk menopang kekuasaannya
dengan fitnah paling kotor dan keji pun. Penghormatan terhadap para jenderal
yang dibunuh itu ditunggangi Suharto dengan fitnah demikian.
Fitnah hitam dongeng horor itu
semua bertentangan dengan hasil visum et repertum tim dokter yang dilakukan
atas perintah Jenderal Suharto sendiri yang diserahkan kepadanya pada 5 Oktober
1965, bahwa tidak ada tanda-tanda penyiksaan biadab, mata dan kemaluan korban
dalam keadaan utuh. Laporan resmi tim dokter itu sama sekali diabaikan dan tak
pernah diumumkan.
Kampanye hitam terhadap PKI terus-menerus dilakukan secara berkesinambungan
selama bertahun-tahun tanpa jeda. Dalil intelijen menyatakan bahwa kebohongan
yang terus-menerus disampaikan akhirnya dianggap sebagai kebenaran. Bahkan
sampai dewasa ini pun, ketika informasi sudah dapat diperloleh secara bebas
terbuka, fitnah itu masih dimamahbiak oleh sementara kalangan seperti buta
informasi.
Apa tujuan kampanye hitam fitnah
itu? Hal ini dimaksudkan untuk mematangkan situasi, membangkitkan emosi rakyat
umumnya dan kaum agama khususnya menuju ke pembantaian massal para anggota PKI
dan yang dituduh PKI sesuai dengan doktrin membasmi sampai ke akar-akarnya.
Dengan gencarnya kampanye hitam itu, maka telah berkembang biak dengan berbagai
peristiwa di daerah dengan kreatifitas dan imajinasi para penguasa setempat.
Selama kurun waktu 1965-1966 jika di pekarangan rumah seseorang ada lubang,
misalnya untuk dipersiapkan menanam sesuatu atau sumur tua tak terpakai,
apalagi jika si pemilik dicurigai sebagai orang PKI, maka serta-merta ia dapat
ditangkap, ditahan dan bahkan dibunuh dengan tuduhan telah mempersiapkan
“lubang buaya” untuk mengubur jenderal, ulama atau dan tokoh-tokoh lawan
politik PKI setempat. Dongeng tersebut masih dihidup-hidupkan sampai saat ini.
Segala macam dongeng fitnah
busuk berupa temuan “lubang buaya” yang dipersiapkan PKI dan konco-konconya
untuk mengubur lawan-lawan politiknya ini bertaburan di banyak berita koran
1965-1966 dan terekam juga dalam sejumlah buku termasuk buku yang ditulis
Jenderal Nasution, yang dianggap sebagai peristiwa dan fakta sejarah, bahkan
selalu dilengkapi dengan apa yang disebut “daftar maut” meskipun keduanya tak
pernah dibuktikan sebagai kejadian sejarah maupun bukti di pengadilan.
Seorang petani bernama Slamet,
anggota BTI yang tinggal di pelosok dusun di Jawa Tengah yang jauh dari jangkauan
warta berita suatu kali mempersiapkan enam lubang untuk menanam pisang di
pekarangannya. Suatu siang datang sejumlah polisi dan tentara dengan
serombongan pemuda yang menggelandang dirinya ketika ia sedang menggali lubang
keenam. Tuduhannya ia tertangkap basah sedang mempersiapkan lubang untuk
mengubur Pak Lurah dan para pejabat setempat. Dalam interogasi terjadi
percakapan seperti di bawah.
“Kamu sedang mempersiapkan
lubang buaya untuk mengubur musuh-musuhmu!”
“Lho kulo niki bade nandur pisang, lubang boyo niku nopo to Pak?” [saya sedang
hendak menanam pisang, lubang buaya itu apa Pak?]
“Lubang boyo iku yo lubange boyo
sing ana boyone PKI!” [lubang buaya itu lubang yang ada buaya milik PKI]. Baik
pesakitan yang bernama Slamet maupun polisi yang memeriksanya tidak tahu apa
sebenarnya lubang buaya itu, mereka tidak tahu bahwa Lubang Buaya itu nama
sebuah desa di Pondokgede, Jakarta.
Dikiranya di situ lubang yang
benar-benar ada buayanya milik PKI. Ini bukan anekdot tetapi kenyataan pahit,
si Slamet akhirnya tidak selamat alias dibunuh karena adanya “bukti telak”
terhadap tuduhan tak terbantahkan.
Demikian rekaman yang saya
sunting dari wawancara HD Haryo Sasongko dalam salah satu bukunya. (Dari
berbagai sumber, petikan naskah belum terbit).
Gerakan 30 September
Gerakan 30 September atau yang sering disingkat G 30 S PKI, G-30S/PKI, Gestapu
(Gerakan September Tiga Puluh), Gestok (Gerakan Satu Oktober) adalah
sebuah peristiwa yang terjadi selewat malam tanggal 30
September sampai di awal 1 Oktober 1965 di mana enam perwira tinggi militer Indonesia
beserta beberapa orang lainnya dibunuh dalam suatu usaha percobaan kudeta yang
kemudian dituduhkan kepada anggota Partai Komunis Indonesia.
Latar
belakang
PKI merupakan partai
komunis yang terbesar di seluruh dunia, di luar Tiongkok dan Uni Soviet.
Anggotanya berjumlah sekitar 3,5 juta, ditambah 3 juta dari pergerakan pemudanya.
PKI juga mengontrol pergerakan serikat buruh yang mempunyai 3,5 juta anggota
dan pergerakan petani Barisan Tani Indonesia
yang mempunyai 9 juta anggota. Termasuk pergerakan wanita (Gerwani),
organisasi penulis dan artis dan pergerakan sarjananya, PKI mempunyai lebih
dari 20 juta anggota dan pendukung.
Pada bulan Juli 1959 parlemen
dibubarkan dan Sukarno menetapkan konstitusi di bawah dekrit presiden - sekali
lagi dengan dukungan penuh dari PKI. Ia memperkuat tangan angkatan bersenjata
dengan mengangkat para jendral militer ke posisi-posisi yang penting. Sukarno
menjalankan sistem "Demokrasi Terpimpin". PKI menyambut
"Demokrasi Terpimpin" Sukarno dengan hangat dan anggapan bahwa dia
mempunyai mandat untuk persekutuan Konsepsi yaitu antara Nasionalis, Agama dan
Komunis yang dinamakan NASAKOM.
Pada era "Demokrasi
Terpimpin", kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum burjuis nasional
dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani, gagal
memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor
menurun, foreign reserves menurun, inflasi terus menaik dan korupsi
birokrat dan militer menjadi wabah.
Perayaan Milad PKI yang ke 45 di Jakarta pada awal
tahun 1965
Pada kunjungan Menlu Subandrio ke Tiongkok, Perdana
Menteri Zhou
Enlai memberikan 100.000 pucuk senjata chung. Penawaran ini gratis tanpa
syarat dan kemudian dilaporkan ke Bung Karno tetapi belum juga menetapkan
waktunya sampai meletusnya G30S. Pada bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan dan
Sukarno menetapkan konstitusi di bawah dekrit presiden - sekali lagi dengan hasutan
dari PKI. Ia memperkuat tangan angkatan bersenjata dengan mengangkat para
jendral militer ke posisi-posisi yang penting. Sukarno menjalankan sistem
"Demokrasi Terpimpin". PKI menyambut
"Demokrasi Terpimpin" Sukarno dengan hangat dan anggapan bahwa dia
mempunyai mandat untuk persekutuan Konsepsi yaitu antara Nasionalis, Agama dan
Komunis yang dinamakan NASAKOM.
Pada era "Demokrasi
Terpimpin", kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan nasionalis dalam
menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani, gagal
memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor
menurun, foreign reserves menurun, inflasi terus menaik dan korupsi
birokrat dan militer menjadi wabah.
Angkatan
kelima
Pada kunjungan Menlu Subandrio ke Tiongkok, Perdana
Menteri Zhou
Enlai menjanjikan 100.000 pucuk senjata jenis chung, penawaran ini
gratis tanpa syarat dan kemudian dilaporkan ke Bung Karno tetapi belum juga
menetapkan waktunya sampai meletusnya G30S.
Pada awal tahun 1965 Bung Karno
atas saran dari PKI akibat dari tawaran perdana mentri RRC, mempunyai ide
tentang Angkatan Kelima yang berdiri sendiri terlepas dari
ABRI. Tetapi petinggi Angkatan Darat tidak setuju dan hal ini lebih menimbulkan
nuansa curiga-mencurigai antara militer dan PKI.
Dari tahun 1963, kepemimpinan PKI
makin lama makin berusaha memprovokasi bentrokan-bentrokan antara aktivis
massanya dan polisi dan militer. Pemimpin-pemimpin PKI juga menginfiltrasi
polisi dan tentara denga slogan "kepentingan bersama" polisi dan
"rakyat". Pemimpin PKI DN Aidit mengilhami slogan "Untuk Ketentraman Umum Bantu
Polisi". Di bulan Agustus 1964, Aidit menganjurkan semua anggota PKI membersihkan diri
dari "sikap-sikap sektarian" kepada angkatan bersenjata, mengimbau
semua pengarang dan seniman sayap-kiri untuk membuat "massa tentara"
subjek karya-karya mereka.
Di akhir 1964 dan permulaan 1965 ribuan petani
bergerak merampas tanah yang bukan hak mereka atas hasutan PKI.
Bentrokan-bentrokan besar terjadi antara mereka dan polisi dan para pemilik
tanah.
Bentrokan-bentrokan tersebut
dipicu oleh propaganda PKI yang menyatakan bahwa petani berhak atas setiap
tanah, tidak peduli tanah siapapun (milik negara = milik bersama). Kemungkinan
besar PKI meniru revolusi Bolsevik di Rusia, di mana di sana rakyat dan partai
komunis menyita milik Tsar dan membagi-bagikannya kepada rakyat.
Pada permulaan 1965, para buruh
mulai menyita perusahaan-perusahaan karet dan minyak milik Amerika
Serikat. Kepemimpinan PKI menjawab ini dengan memasuki pemerintahan dengan
resmi. Pada waktu yang sama, jenderal-jenderal militer tingkat tinggi juga
menjadi anggota kabinet. Jendral-jendral tersebut masuk kabinet karena
jabatannya di militer oleh Sukarno disamakan dengan setingkat mentri. Hal ini
dapat dibuktikan dengan nama jabatannya (Menpangab, Menpangad, dan lain-lain).
Menteri-menteri PKI tidak hanya
duduk di sebelah para petinggi militer di dalam kabinet Sukarno ini, tetapi
mereka terus mendorong ilusi yang sangat berbahaya bahwa angkatan bersenjata
adalah merupakan bagian dari revolusi demokratis "rakyat".
Pengangkatan
Jenazah di Lubang Buaya
Aidit memberikan ceramah kepada
siswa-siswa sekolah angkatan bersenjata di mana ia berbicara tentang
"perasaan kebersamaan dan persatuan yang bertambah kuat setiap hari antara
tentara Republik Indonesia dan unsur-unsur masyarakat Indonesia, termasuk para
komunis".
Rezim Sukarno mengambil langkah
terhadap para pekerja dengan melarang aksi-aksi mogok di industri. Kepemimpinan
PKI tidak berkeberatan karena industri menurut mereka adalah milik pemerintahan
NASAKOM.
Tidak lama PKI mengetahui dengan
jelas persiapan-persiapan untuk pembentukan rezim militer, menyatakan keperluan
untuk pendirian "angkatan kelima" di dalam angkatan bersenjata, yang
terdiri dari pekerja dan petani yang bersenjata. Bukannya memperjuangkan
mobilisasi massa yang berdiri sendiri untuk melawan ancaman militer yang sedang
berkembang itu, kepemimpinan PKI malah berusaha untuk membatasi pergerakan
massa yang makin mendalam ini dalam batas-batas hukum kapitalis negara. Mereka,
depan jendral-jendral militer, berusaha menenangkan bahwa usul PKI akan
memperkuat negara. Aidit menyatakan dalam laporan ke Komite Sentral PKI bahwa
"NASAKOMisasi" angkatan bersenjata dapat dicapai dan mereka akan
bekerjasama untuk menciptakan "angkatan kelima". Kepemimpinan PKI
tetap berusaha menekan aspirasi revolusioner kaum buruh di Indonesia. Di bulan
Mei 1965, Politbiro PKI masih mendorong ilusi bahwa aparatus militer dan negara
sedang diubah untuk mengecilkan aspek anti-rakyat dalam alat-alat negara.
Isu
sakitnya Bung Karno
Sejak tahun 1964 sampai menjelang
meletusnya G30S telah beredar isu sakit parahnya Bung Karno. Hal ini
meningkatkan kasak-kusuk dan isu perebutan kekuasaan apabila Bung Karno
meninggal dunia. Namun menurut Subandrio, Aidit tahu persis bahwa Bung Karno
hanya sakit ringan saja, jadi hal ini bukan merupakan alasan PKI melakukan
tindakan tersebut.
Tahunya Aidit akan jenis
sakitnya Sukarno membuktikan bahwa hal tersebut sengaja dihembuskan PKI untuk
memicu ketidakpastian di masyarakat.
Isu
masalah tanah dan bagi hasil
Pada tahun 1960 keluarlah Undang-Undang
Pokok Agraria (UU Pokok Agraria) dan Undang-Undang
Pokok Bagi Hasil (UU Bagi Hasil) yang
sebenarnya merupakan kelanjutan dari Panitia Agraria yang
dibentuk pada tahun 1948.
Panitia Agraria yang menghasilkan UUPA terdiri dari wakil pemerintah dan wakil
berbagai ormas tani yang mencerminkan 10 kekuatan partai politik pada masa itu.
Walaupun undang-undangnya sudah ada namun pelaksanaan di daerah tidak jalan
sehingga menimbulkan gesekan antara para petani penggarap dengan pihak pemilik
tanah yang takut terkena UUPA, melibatkan sebagian massa pengikutnya dengan
melibatkan backing aparat keamanan. Peristiwa yang menonjol dalam rangka ini antara
lain peristiwa Bandar Betsi di Sumatera Utara dan peristiwa di Klaten yang
disebut sebagai ‘aksi sepihak’ dan kemudian digunakan sebagai dalih oleh
militer untuk membersihkannya.
Keributan antara PKI dan Islam
(tidak hanya NU, tapi juga dengan Persis dan Muhammadiyah) itu pada dasarnya
terjadi di hampir semua tempat di Indonesia, di Jawa Barat, Jawa Timur, dan di
propinsi-propinsi lain juga terjadi hal demikian, PKI di beberapa tempat bahkan
sudah mengancam kyai-kyai bahwa mereka akan disembelih setelah tanggal 30
September 1965 (hal ini membuktikan bahwa seluruh elemen PKI mengetahui rencana
kudeta 30 September tersebut).
Faktor
Malaysia
Soekarno yang murka karena hal
itu mengutuk tindakan Tunku yang menginjak-injak lambang
negara Indonesia[2]
dan ingin melakukan balas dendam dengan melancarkan gerakan yang terkenal
dengan sebutan "Ganyang Malaysia" kepada negara Federasi
Malaysia yang telah sangat menghina Indonesia dan presiden Indonesia.
Perintah Soekarno kepada Angkatan Darat untuk meng"ganyang Malaysia"
ditanggapi dengan dingin oleh para jenderal pada saat itu. Di satu pihak Letjen
Ahmad Yani
tidak ingin melawan Malaysia yang dibantu oleh Inggris dengan anggapan bahwa
tentara Indonesia pada saat itu tidak memadai untuk peperangan dengan skala
tersebut, sedangkan di pihak lain Kepala Staf TNI Angkatan Darat A.H.
Nasution setuju dengan usulan Soekarno karena ia mengkhawatirkan isu
Malaysia ini akan ditunggangi oleh PKI untuk memperkuat posisinya di percaturan
politik di Indonesia.
Posisi Angkatan Darat pada saat
itu serba salah karena di satu pihak mereka tidak yakin mereka dapat
mengalahkan Inggris, dan di lain pihak mereka akan menghadapi Soekarno yang
mengamuk jika mereka tidak berperang. Akhirnya para pemimpin Angkatan Darat
memilih untuk berperang setengah hati di Kalimantan.
Tak heran, Brigadir Jenderal Suparjo, komandan pasukan di Kalimantan
Barat, mengeluh, konfrontasi tak dilakukan sepenuh hati dan ia merasa
operasinya disabotase dari belakang[3].
Hal ini juga dapat dilihat dari kegagalan operasi gerilya di Malaysia, padahal
tentara Indonesia sebenarnya sangat mahir dalam peperangan gerilya.
Mengetahui bahwa tentara
Indonesia tidak mendukungnya, Soekarno merasa kecewa dan berbalik mencari
dukungan PKI untuk melampiaskan amarahnya kepada Malaysia. Soekarno, seperti
yang ditulis di otobiografinya, mengakui bahwa ia adalah seorang yang
memiliki harga diri yang sangat tinggi, dan tidak ada yang dapat dilakukan
untuk mengubah keinginannya meng"ganyang Malaysia".
“
|
Soekarno adalah seorang individualis.
Manusia jang tjongkak dengan suara-batin yang menjala-njala, manusia jang
mengakui bahwa ia mentjintai dirinja sendiri tidak mungkin mendjadi satelit
jang melekat pada bangsa lain. Soekarno tidak mungkin menghambakan diri pada
dominasi kekuasaan manapun djuga. Dia tidak mungkin menjadi boneka.
|
”
|
Di pihak PKI, mereka menjadi
pendukung terbesar gerakan "ganyang Malaysia" yang mereka anggap
sebagai antek Inggris, antek nekolim. PKI juga memanfaatkan
kesempatan itu untuk keuntungan mereka sendiri, jadi motif PKI untuk mendukung
kebijakan Soekarno tidak sepenuhnya idealis.
Pada saat PKI memperoleh angin
segar, justru para penentangnyalah yang menghadapi keadaan yang buruk; mereka
melihat posisi PKI yang semakin menguat sebagai suatu ancaman, ditambah
hubungan internasional PKI dengan Partai Komunis sedunia,
khususnya dengan adanya poros Jakarta-Beijing-Moskow-Pyongyang-Phnom Penh. Soekarno juga mengetahui hal ini, namun ia
memutuskan untuk mendiamkannya karena ia masih ingin meminjam kekuatan PKI
untuk konfrontasi yang sedang berlangsung, karena posisi Indonesia yang melemah
di lingkungan internasional sejak keluarnya Indonesia dari PBB (20 Januari
1965).
Dari sebuah dokumen rahasia
badan intelejen Amerika Serikat (CIA) yang baru dibuka yang bertanggalkan 13 Januari
1965 menyebutkan
sebuah percakapan santai Soekarno dengan para pemimpin sayap kanan bahwa ia
masih membutuhkan dukungan PKI untuk menghadapi Malaysia dan oleh karena itu ia
tidak bisa menindak tegas mereka. Namun ia juga menegaskan bahwa suatu waktu
"giliran PKI akan tiba. "Soekarno berkata, "Kamu bisa menjadi
teman atau musuh saya. Itu terserah kamu. ... Untukku, Malaysia itu musuh nomor
satu. Suatu saat saya akan membereskan PKI, tetapi tidak sekarang."[2]
Dari pihak Angkatan Darat,
perpecahan internal yang terjadi mulai mencuat ketika banyak tentara yang
kebanyakan dari Divisi Diponegoro yang
kesal serta kecewa kepada sikap petinggi Angkatan Darat yang takut kepada
Malaysia, berperang hanya dengan setengah hati, dan berkhianat terhadap misi
yang diberikan Soekarno. Mereka memutuskan untuk berhubungan dengan orang-orang
dari PKI untuk membersihkan tubuh Angkatan Darat dari para jenderal ini.
Faktor
Amerika Serikat
Amerika Serikat pada waktu itu
sedang terlibat dalam perang Vietnam dan berusaha sekuat tenaga agar
Indonesia tidak jatuh ke tangan komunisme. Peranan badan intelejen Amerika Serikat (CIA) pada peristiwa ini
sebatas memberikan 50 juta rupiah (uang saat itu) kepada Adam Malik
dan walkie-talkie serta
obat-obatan kepada tentara Indonesia. Politisi Amerika pada bulan-bulan yang
menentukan ini dihadapkan pada masalah yang membingungkan karena mereka merasa
ditarik oleh Sukarno ke dalam konfrontasi Indonesia-Malaysia ini.
Salah satu pandangan mengatakan
bahwa peranan Amerika Serikat dalam hal ini tidak besar, hal ini dapat dilihat
dari telegram Duta Besar Green ke Washington pada tanggal 8 Agustus 1965 yang mengeluhkan
bahwa usahanya untuk melawan propaganda anti-Amerika di Indonesia tidak
memberikan hasil bahkan tidak berguna sama sekali. Dalam telegram kepada
Presiden Johnson tanggal 6 Oktober, agen CIA menyatakan ketidakpercayaan kepada
tindakan PKI yang dirasa tidak masuk akal karena situasi politis Indonesia yang
sangat menguntungkan mereka, dan hingga akhir Oktober masih terjadi kebingungan
atas pembantaian di Jawa Tengah, Jawa Timur,
dan Bali dilakukan
oleh PKI atau NU/PNI.
Pandangan lain, terutama dari
kalangan korban dari insiden ini, menyebutkan bahwa Amerika menjadi aktor di
balik layar dan setelah dekrit Supersemar Amerika memberikan daftar nama-nama
anggota PKI kepada militer untuk dibunuh. Namun hingga saat ini kedua pandangan
tersebut tidak memiliki banyak bukti-bukti fisik.
Faktor
ekonomi
Ekonomi masyarakat Indonesia
pada waktu itu yang sangat rendah mengakibatkan dukungan rakyat kepada Soekarno
(dan PKI) meluntur. Mereka tidak sepenuhnya menyetujui kebijakan "ganyang
Malaysia" yang dianggap akan semakin memperparah keadaan Indonesia.
Inflasi yang mencapai 650%
membuat harga makanan melambung tinggi, rakyat kelaparan dan terpaksa harus
antri beras, minyak, gula, dan barang-barang kebutuhan pokok lainnya. Beberapa
faktor yang berperan kenaikan harga ini adalah keputusan Suharto-Nasution untuk
menaikkan gaji para tentara 500% dan penganiayaan terhadap kaum pedagang Tionghoa
yang menyebabkan mereka kabur. Sebagai akibat dari inflasi tersebut, banyak
rakyat Indonesia yang sehari-hari hanya makan bonggol pisang, umbi-umbian, gaplek,
serta bahan makanan yang tidak layak dikonsumsi lainnya; pun mereka menggunakan
kain dari karung sebagai pakaian mereka.
Faktor ekonomi ini menjadi salah
satu sebab kemarahan rakyat atas pembunuhan keenam jenderal tersebut, yang
berakibat adanya backlash terhadap PKI dan pembantaian orang-orang yang
dituduh anggota PKI di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali serta tempat-tempat
lainnya.
Peristiwa
Sumur
Lubang Buaya
Pada 1 Oktober 1965 dini hari, enam
jenderal senior dan beberapa orang lainnya dibunuh dalam upaya kudeta yang
disalahkan kepada para pengawal istana (Cakrabirawa)
yang dianggap loyal kepada PKI dan pada saat itu dipimpin oleh Letkol. Untung.
Panglima Komando Strategi Angkatan Darat saat itu, Mayjen Soeharto
kemudian mengadakan penumpasan terhadap gerakan tersebut.
Isu
Dewan Jenderal
Pada saat-saat yang genting
sekitar bulan September 1965 muncul isu adanya Dewan
Jenderal yang mengungkapkan adanya beberapa petinggi Angkatan Darat yang
tidak puas terhadap Soekarno dan berniat untuk menggulingkannya. Menanggapi isu
ini, Soekarno disebut-sebut memerintahkan pasukan Cakrabirawa untuk menangkap
dan membawa mereka untuk diadili oleh Soekarno. Namun yang tidak diduga-duga,
dalam operasi penangkapan jenderal-jenderal tersebut, terjadi tindakan beberapa
oknum yang termakan emosi dan membunuh Letjen Ahmad Yani, Panjaitan, dan
Harjono.
Isu
Dokumen Gilchrist
Dokumen
Gilchrist yang diambil dari nama duta besar Inggris untuk Indonesia Andrew Gilchrist beredar
hampir bersamaan waktunya dengan isu Dewan Jenderal. Dokumen ini, yang oleh
beberapa pihak disebut sebagai pemalsuan oleh intelejen Ceko di bawah
pengawasan Jenderal Agayant dari KGB Rusia, menyebutkan
adanya "Teman Tentara Lokal Kita" yang mengesankan bahwa
perwira-perwira Angkatan Darat telah dibeli oleh pihak Barat[4].
Kedutaan Amerika Serikat juga dituduh memberikan daftar nama-nama anggota PKI
kepada tentara untuk "ditindaklanjuti". Dinas intelejen Amerika
Serikat mendapat data-data tersebut dari berbagai sumber, salah satunya seperti
yang ditulis John Hughes, wartawan The Nation yang menulis buku "Indonesian
Upheaval", yang dijadikan basis skenario film "The Year of
Living Dangerously", ia sering menukar data-data apa yang ia kumpulkan
untuk mendapatkan fasilitas teleks untuk mengirimkan berita.
Isu
Keterlibatan Soeharto
Hingga saat ini tidak ada bukti
keterlibatan/peran aktif Soeharto dalam aksi penculikan tersebut. Satu-satunya
bukti yang bisa dielaborasi adalah pertemuan Soeharto yang saat itu menjabat
sebagai Pangkostrad (pada zaman itu jabatan Panglima Komando Strategis Cadangan
Angkatan Darat tidak membawahi pasukan, berbeda dengan sekarang) dengan Kolonel
Abdul
Latief di Rumah Sakit
Angkatan Darat.
Meski demikian, Suharto
merupakan pihak yang paling diuntungkan dari peristiwa ini. Banyak penelitian
ilmiah yang sudah dipublikasikan di jurnal internasional mengungkap
keterlibatan Suharto dan CIA. Beberapa diantaranya adalah karya Benedict R.O'G.
Anderson and Ruth T. McVey (Cornell University), Ralph McGehee (The Indonesian
Massacres and the CIA), Government Printing Office of the US (Department of
State, INR/IL Historical Files, Indonesia, 1963-1965. Secret; Priority; Roger
Channel; Special Handling), John Roosa (Pretext for Mass Murder: The September
30th Movement and Suharto's Coup d'État in Indonesia), Prof. Dr. W.F. Wertheim
(Serpihan Sejarah Th65 yang Terlupakan).
Korban
Keenam pejabat tinggi yang
dibunuh tersebut adalah:
- Letjen TNI Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat/Kepala
Staf Komando Operasi Tertinggi)
- Mayjen TNI Raden Suprapto (Deputi II
Menteri/Panglima AD bidang Administrasi)
- Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono (Deputi III
Menteri/Panglima AD bidang Perencanaan dan Pembinaan)
- Mayjen TNI Siswondo
Parman (Asisten I Menteri/Panglima AD bidang Intelijen)
- Brigjen TNI Donald
Isaac Panjaitan (Asisten IV Menteri/Panglima AD bidang Logistik)
- Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur
Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat)
Selain itu beberapa orang
lainnya juga turut menjadi korban:
Pasca kejadian
Pemakaman
para pahlawan revolusi. Tampak Mayjen Soeharto di sebelah kanan
Pasca pembunuhan beberapa
perwira TNI AD, PKI mampu menguasai dua sarana komunikasi vital, yaitu studio RRI di Jalan Merdeka
Barat dan Kantor Telekomunikasi yang terletak di Jalan Merdeka Selatan.
Melalui RRI, PKI menyiarkan pengumuman tentang Gerakan 30 September yang
ditujukan kepada para perwira tinggi anggota “Dewan Jenderal” yang akan
mengadakan kudeta terhadap pemerintah. Diumumkan pula terbentuknya “Dewan
Revolusi” yang diketuai oleh Letkol Untung Sutopo.
Di Jawa Tengah dan DI.
Yogyakarta, PKI melakukan pembunuhan terhadap Kolonel Katamso (Komandan Korem
072/Yogyakarta) dan Letnan Kolonel Sugiyono (Kepala Staf Korem 072/Yogyakarta).
Mereka diculik PKI pada sore hari 1 Oktober 1965. Kedua perwira ini dibunuh
karena secara tegas menolak berhubungan dengan Dewan Revolusi. Pada tanggal 1 Oktober 1965 Sukarno dan
sekretaris jendral PKI Aidit menanggapi pembentukan Dewan Revolusioner oleh
para "pemberontak" dengan berpindah ke Pangkalan Angkatan Udara Halim di
Jakarta untuk mencari perlindungan.
Pada tanggal 6 Oktober
Sukarno mengimbau rakyat untuk menciptakan "persatuan nasional",
yaitu persatuan antara angkatan bersenjata dan para korbannya, dan penghentian
kekerasan. Biro Politik dari Komite Sentral PKI segera menganjurkan semua
anggota dan organisasi-organisasi massa untuk mendukung "pemimpin revolusi
Indonesia" dan tidak melawan angkatan bersenjata. Pernyataan ini dicetak
ulang di koran CPA bernama "Tribune".
Pada tanggal 12 Oktober
1965, pemimpin-pemimpin Uni-Soviet Brezhnev, Mikoyan
dan Kosygin mengirim pesan khusus
untuk Sukarno: "Kita dan rekan-rekan kita bergembira untuk mendengar bahwa
kesehatan anda telah membaik...Kita mendengar dengan penuh minat tentang pidato
anda di radio kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tetap tenang dan menghindari
kekacauan...Imbauan ini akan dimengerti secara mendalam."
“
|
Saya perintahkan kepada Jenderal Mayor
Soeharto, sekarang Angkatan Darat pimpinannya saya berikan kepadamu, buatlah
Angkatan Darat ini satu Angkatan dari pada Republik Indonesia, Angkatan
Bersenjata daripada Republik Indonesia yang sama sekali menjalankan Panca
Azimat Revolusi, yang sama sekali berdiri di atas Trisakti, yang sama sekali
berdiri di atas Nasakom, yang sama sekali berdiri di atas prinsip Berdikari,
yang sama sekali berdiri atas prinsip Manipol-USDEK.
Manipol-USDEK telah ditentukan
oleh lembaga kita yang tertinggi sebagai haluan negara Republik Indonesia.
Dan oleh karena Manipol-USDEK ini adalah haluan daripada negara Republik
Indonesia, maka dia harus dijunjung tinggi, dijalankan, dipupuk oleh semua
kita. Oleh Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, Angkatan Kepolisian
Negara. Hanya jikalau kita berdiri benar-benar di atas Panca Azimat ini, kita
semuanya, maka barulah revousi kita bisa jaya.
Soeharto, sebagai panglima
Angkatan Darat, dan sebagai Menteri dalam kabinetku, saya perintahkan engkau,
kerjakan apa yang kuperintahkan kepadamu dengan sebaik-baiknya. Saya doakan
Tuhan selalu beserta kita dan beserta engkau!
|
”
|
Dalam sebuah Konferensi Tiga Benua
di Havana di
bulan Februari 1966, perwakilan Uni-Sovyet berusaha dengan segala kemampuan
mereka untuk menghindari pengutukan atas penangkapan dan pembunuhan orang-orang
yang dituduh sebagai PKI, yang sedang terjadi terhadap rakyat Indonesia.
Pendirian mereka mendapatkan pujian dari rejim Suharto. Parlemen Indonesia
mengesahkan resolusi pada tanggal 11 Februari,
menyatakan "penghargaan penuh" atas usaha-usaha perwakilan-perwakilan
dari Nepal, Mongolia, Uni-Sovyet dan negara-negara lain di Konperensi
Solidaritas Negara-Negara Afrika, Asia dan Amerika Latin, yang berhasil
menetralisir usaha-usaha para kontra-revolusioner apa yang dinamakan pergerakan
30 September, dan para pemimpin dan pelindung mereka, untuk bercampur-tangan di
dalam urusan dalam negeri Indonesia."
Penangkapan
dan pembantaian
Penangkapan
Simpatisan PKI
Dalam bulan-bulan setelah
peristiwa ini, semua anggota dan pendukung PKI, atau mereka yang dianggap
sebagai anggota dan simpatisan PKI, semua partai kelas buruh yang diketahui dan
ratusan ribu pekerja dan petani Indonesia yang lain dibunuh atau dimasukkan ke
kamp-kamp tahanan untuk disiksa dan diinterogasi. Pembunuhan-pembunuhan ini
terjadi di Jawa Tengah (bulan Oktober), Jawa Timur
(bulan November) dan Bali
(bulan Desember). Berapa jumlah orang yang dibantai tidak diketahui dengan
persis - perkiraan yang konservatif menyebutkan 500.000 orang, sementara perkiraan
lain menyebut dua sampai tiga juta orang. Namun diduga setidak-tidaknya satu
juta orang menjadi korban dalam bencana enam bulan yang mengikuti kudeta itu.
Dihasut dan dibantu oleh
tentara, kelompok-kelompok pemuda dari organisasi-organisasi muslim sayap-kanan seperti barisan
Ansor NU dan Tameng Marhaenis PNI melakukan pembunuhan-pembunuhan massal,
terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ada laporan-laporan bahwa Sungai
Brantas di dekat Surabaya menjadi penuh mayat-mayat sampai di tempat-tempat
tertentu sungai itu "terbendung mayat".
Pada akhir 1965, antara 500.000
dan satu juta anggota-anggota dan pendukung-pendukung PKI telah menjadi korban
pembunuhan dan ratusan ribu lainnya dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi,
tanpa adanya perlawanan sama sekali. Sewaktu regu-regu militer yang didukung dana
CIA [1]
menangkapi semua anggota dan pendukung PKI yang terketahui dan melakukan
pembantaian keji terhadap mereka, majalah "Time" memberitakan:
"Pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan dalam skala yang
sedemikian sehingga pembuangan mayat menyebabkan persoalan sanitasi yang serius
di Sumatera Utara, di mana udara yang lembap membawa bau mayat membusuk.
Orang-orang dari daerah-daerah ini bercerita kepada kita tentang sungai-sungai
kecil yang benar-benar terbendung oleh mayat-mayat. Transportasi sungai menjadi
terhambat secara serius."
Di pulau Bali, yang sebelum itu
dianggap sebagai kubu PKI, paling sedikit 35.000 orang menjadi korban di
permulaan 1966. Di sana para Tamin, pasukan komando elite Partai Nasional Indonesia, adalah pelaku
pembunuhan-pembunuhan ini. Koresponden khusus dari Frankfurter Allgemeine
Zeitung bercerita tentang mayat-mayat di pinggir jalan atau dibuang ke
dalam galian-galian dan tentang desa-desa yang separuh dibakar di mana para
petani tidak berani meninggalkan kerangka-kerangka rumah mereka yang sudah
hangus.
Di daerah-daerah lain, para
terdakwa dipaksa untuk membunuh teman-teman mereka untuk membuktikan kesetiaan
mereka. Di kota-kota besar pemburuan-pemburuan rasialis
"anti-Tionghoa" terjadi. Pekerja-pekerja dan pegawai-pegawai
pemerintah yang mengadakan aksi mogok sebagai protes atas kejadian-kejadian
kontra-revolusioner ini dipecat.
Paling sedikit 250,000 orang
pekerja dan petani dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi. Diperkirakan sekitar
110,000 orang masih dipenjarakan sebagai tahanan politik pada akhir 1969. Eksekusi-eksekusi
masih dilakukan sampai sekarang, termasuk belasan orang sejak tahun 1980-an. Empat
tapol, Johannes Surono Hadiwiyino, Safar Suryanto, Simon Petrus Sulaeman
dan Nobertus Rohayan, dihukum mati hampir 25 tahun sejak kudeta itu.
Supersemar
Lima bulan setelah itu, pada
tanggal 11
Maret 1966,
Sukarno memberi Suharto kekuasaan tak terbatas melalui Surat Perintah Sebelas Maret. Ia
memerintah Suharto untuk mengambil "langkah-langkah yang sesuai"
untuk mengembalikan ketenangan dan untuk melindungi keamanan pribadi dan
wibawanya. Kekuatan tak terbatas ini pertama kali digunakan oleh Suharto untuk
melarang PKI. Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, Sukarno dipertahankan
sebagai presiden tituler diktatur militer itu sampai Maret 1967.
Kepemimpinan PKI terus mengimbau
massa agar menuruti kewenangan rejim Sukarno-Suharto. Aidit, yang telah
melarikan diri, ditangkap dan dibunuh oleh TNI pada tanggal 24 November,
tetapi pekerjaannya diteruskan oleh Sekretaris Kedua PKI Nyoto.
Pertemuan
Jenewa, Swiss
Menyusul peralihan tampuk
kekuasaan ke tangan Suharto, diselenggarakan pertemuan antara para ekonom orde
baru dengan para CEO korporasi multinasional di Swiss, pada bulan Nopember
1967. Korporasi multinasional diantaranya diwakili perusahaan-perusahaan minyak
dan bank, General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland,
British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The
International Paper Corporation, US Steel, ICI, Leman Brothers, Asian
Development Bank, dan Chase Manhattan. Tim Ekonomi Indonesia menawarkan: tenaga
buruh yang banyak dan murah, cadangan dan sumber daya alam yang melimpah, dan
pasar yang besar.
Hal ini didokumentasikan oleh
Jhon Pilger dalam film The New Rulers of World (tersedia di situs video google)
yang menggambarkan bagaimana kekayaan alam Indonesia dibagi-bagi bagaikan
rampasan perang oleh perusahaan asing pasca jatuhnya Soekarno. Freeport
mendapat emas di Papua Barat, Caltex mendapatkan ladang minyak di Riau, Mobil
Oil mendapatkan ladang gas di Natuna, perusahaan lain mendapat hutan tropis.
Kebijakan ekonomi pro liberal sejak saat itu diterapkan.
Peringatan
Monumen
Pancasila Sakti, Lubang Buaya
Sesudah kejadian tersebut, 30
September diperingati sebagai Hari Peringatan Gerakan 30 September. Hari
berikutnya, 1
Oktober, ditetapkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Pada masa
pemerintahan Soeharto,
biasanya sebuah film mengenai kejadian tersebut juga
ditayangkan di seluruh stasiun televisi di Indonesia
setiap tahun pada tanggal 30 September. Selain itu pada masa Soeharto biasanya
dilakukan upacara bendera di Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya dan
dilanjutkan dengan tabur bunga di makam para pahlawan revolusi di TMP
Kalibata. Namun sejak era Reformasi bergulir, film itu sudah tidak ditayangkan lagi
dan hanya tradisi tabur bunga yang dilanjutkan.
Pada 29
September - 4 Oktober 2006, diadakan rangkaian acara peringatan untuk mengenang
peristiwa pembunuhan terhadap ratusan ribu hingga jutaan jiwa di berbagai
pelosok Indonesia. Acara yang bertajuk "Pekan Seni Budaya dalam rangka
memperingati 40 tahun tragedi kemanusiaan 1965" ini berlangsung di
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Depok. Selain civitas
academica Universitas Indonesia, acara itu juga dihadiri para korban
tragedi kemanusiaan 1965, antara lain Setiadi, Murad Aidit, Haryo Sasongko, dan
Putmainah.