PEMBAHASAN
2.1 Pemikiran Kalam masa kini
Ajaran Islam, yang kristalnya berupa Al-Qur’an dan sunnah Nabi diyakini oleh umat Islam dapat mengantisipasi segala kemungkinan yang diproduksi bahwa tampilan Islam itu beragam, boleh jadi, karena lokasi penampilannya mempunyai budaya yang beragam, tetapi boleh jadi juga, kurun jaman telah membawa budaya dan teknologi yang berbeda-beda. Misalnya, ada komunitas yang senang menampilkan Islam dengan pemerintahan kerajaan, ada pula yang senang pemerintahan republic, bahkan ada yang ingin kembali ke
pemerintah bentuk khilafah. Ada yang terikat dengan teks Al-Qur’an dan Hadits dalam memahami ajaran Islam, ada pula yang longaar, melihat konteks nas tersebut. Tidak terelakan, slaing berebut benar antara sesame Muslim terjadi dimana-mana dalam rangka menampilkan Islam. Tampaknya, pemahaman itu utuh, pesan keutuhan dapat ditangkap, fanatic buta dapat diredam, sejarah tampilan ajaran Islam dari waktu ke waktu perlu dicermati. Dengan cara ini proses terselenggaranya syariat Islam di masa Nabi dan generasi-generasi berikutnya dapat dipahami. Alas an kebijakn para tokoh Islam untuk maksud ini pun dapat dimengerti. Dalam era kontemporer ini kemudian teraktualisasi perdebatan kalam dikalangan tokoh modernisasi.
2.2 Pemikiran Kalam Hasan Hanafi
1. Riwayat Singkat Hasan Hanafi
Hasan Hanafi dilahirkan pada 13 Februari tahun 1935, dimana Inggris menjajah Negara Mesir, hal ini membentuk semangat nasionalismenya ketika ia masih kecil. Pada tahun 1948 yang mana Negara Israel telah terbentuk dan berdiri serta pecahnya perang Palestina, Hasan Hanafi ikut serta turun dan melakukan perang melawan Zionisme dan menemukan arti penting dalam persatuan bangsa Arab dan Muslim. Hasan hanafi adalah pengikut Ikhwanul Muslimin ketika dia aktif kuliah di Universitas Kairo.
Dalam ikhwanul muslimin dia aktif dalam mengikuti demontrasi hingga adanya revolusi pada tahun 1952. dia berperan dalam demontrasi menentang persetujuan 1954 dengan Inggris Raya yang mengatur tentang evakuasi tentara Inggris. Di Perancis hasan hanafi menemukan permulaan kesadaran filosofis di tahun terakhir tahun 1950-an. Pada tahun 1960-an Perancis menjadi pusat ilmu filsafat kontemporer di dunia. Di Perancis hasan hanafi meraih gelar doktornya.
2. Pemikiran Hasan Hanafi
a. Kritik terhadap teologi Tradisional2
Dalam gagasannya tentang rekobstruksi teologi tradisional, Hanafi mengaskan perlunya mengubah orientasi perangkat konseptual kepercayaan sesuai dengan konteks politik yang terjadi. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa teologi tradisional lahir dalam konteks sejarah ketika inti keislaman yang bertujuan untuk memelihara kemurniannya. Hal ini berbeda dengan kenyataan sekarang bahwa Islam mengalami kekalahan akibat kolonialisasi sehingga perubahan kerangka konseptal kama pada masa-masa permulaan yang berasal dari kebudayaan klasik menuju kerangka konseptual yang baru yang berasal dari kebudayaan modern harus dilakukan.
Hanafi memandang teologi bukanlah pemikiran murni yang hadir dalam kehampaan dan kesejahteraan, melainkan merefleksikan konflik social politik. Sehingga kritik teologi memang merupakan tindakan yang sah dan dibenarkan karena sebagai produk pemikiran manusia yang terbuka untuk dikritik. Hal ini sesuai dengan pendefinisian beliau tenteng definisi teologi itu sendiri. Menurutnya teologi bukanlah ilmu tentang tuhan, karena Tuhan tidak tunduk pada Ilmu. Tuhan mengungkapkan diri pada sabdanya yang berupa wahyu.
Menurut hasan hanafi, teologi tradisional tidak dapat menjadi sebuah pandangan yang benar-benar hidup yang menjadi motivasi tindakan dalam kehiduoan kongkrit kehidupan manusia hal ini disebabkan oleh sikap para penyusun teologi yang tidak mengaitkan dengan kesadaran murni dan nilai-nilai perbuatan manusia. Sehingga menimbulkan keterpercahan antara keimanan teoritik dengan amal praktiknya dikalangan umat.
Sebagai konsekuensi atas pemikirannya yang menyatakan bahwa para ulama tradisional telah gagal dalam menyusun teologi yang modern, maka Hanafi mengajukan saran rekontruksi teologi. Adapaun langkah untuk melakukan rekonstruksi teologi sekurang-kurangnya dilatarbelakangi oleh tiga hal yaitu :
1. Kebutuhan akan adanya sebuah ideologi yang jelas di tengaj pertarungan globalisasi ideologi.
2. Pentingnya teologi baru ini bukan semata pada sisi teoritisnya tetapi juga terletak pada kepentingan praktis untuk secara nyata mewujudkan ideologi gerakan dalam sejarah.
3. Keperingan teologi yang bersifat praktis yang secara nyata diwujudkan dalam realisasi tauhid dalam dunia Islam.
Selanjutnya Hanafi menawarkan dua hal untuk memperoleh kesempurnaan teori ilmu dalam teologi Islam, yaitu : Pertama, analisis bahasa, hal ini karena bahasa merupakan warisan nenek moyang yang merupakan tradisikhas yang seolah-olah menjadi ketentuan sejak dulu. Kedua, analisis sosial, hal ini dilakukan untuk mengetahui latar belakang historis-sosiologis munculnya teologi dr masa lalu.
D. Harun Nasution
1. Riwayat Harun Nasution 3
Harun Nasution lahir di Pematang Siantar, Sumatera Utara pada tahun 1919. Kemudian bersekolah di HIS (Hollandsche Indlansche School) dan lulus pada tahun 1934. Pada tahun 1937, lulus dari Moderne Islamietische Kweekschool. la melanjutkan pendidikan di Ahliyah Universitas AI-Azhar pada tahun 1940. Dan pada tahun 1952, meraih gelar sarjana muda di American University of Cairo.Harun Nasution menjadi pegawai Deplu RI di Brussels dan Kairo pada tahun 1953-1960. Dia meraih gelar doktor di Universitas McGill di Kanada pada tahun 1968. Selanjutnya, pada 1969 menjadi rektor di IAIN Syan'f Hidayatullah dan UNJ. Pada tahun 1973, menjabat sebagai rektor IAIN Syarif Hidayatullah.Hasan Nasution wafat pada tanggal 18 September 1998 di Jakarta.Harun Nasution dikenal sebagai tokoh yang memuji aliran Muktazilah (rasionalis), yang berdasar pada peran akal dalam kehidupan beragama. Dalam ceramahnya, Harun selalu menekankan agar kaum Muslim Indonesia berpikir secara rasional.
Harun Nasution juga dikenal sebagai tokoh yang berpikiran terbuka. Ketika ramai dibicarakan tentang hubungan antar agama pada tahun 1975, Harun Nasution dikenal sebagai tokoh yang berpikiran luwes lalu mengusulkan pembentukan wadah musyawarah antar agama, yang bertujuan untuk menghilangkan rasa saling curiga. Beberapa buku yang pernah ditulis oleh Harun Nasution antara lain :
* Akal dan Wahyu dalam Islam (1981)
* Filsafat Agama (1973)
* Islam Rasional (1995)
* Sejarah Pemikiran dan Gerakan (1975) 2.
2.3 Pemikiran Kalam Harun Nasution
Secara garis besar pemikiran mengarah kepada pemikiran Muktazillah yang menunut kepada peranan akal dalam kehidupan manusia. Dalam salah satu bukunya ia berpendapat bahwa akal melambangkan kekuatan manusia. Karena akallah manusia mempunyai kesanggupan untuk menaklukkan kekuatan makhluk lain sekitarnya. Hal ini dasarkan ada kenyataan bahwa Islam memberikan kedudukan yang tinggi terhadap peranan akal dalam kehiduapn manusia untuk perkembangan ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan keagamaan Islam.
Dalam hal pembaharuan teologi, ia sependapat dengan pandangan kaum modernis yang berpendapat bahwa perlu untuk kembali kepada teologi Islam yang sejati untuk bangkit dari keterpurukan dan kemunduran ummat Islam di Indonesia. Hal ini dikarenakan ummat Islam yang lebih cenderung dengan teologi fatalistik, serta menyerahkan nasib telah membawa nasib mereka menuju kemunduran.
Dalam hal hubungan akal dan wahyu, sebagaimana pemikiran ulama Muktazillah terdahulu. Harun Nasution berpendapat bahwa akal mempunyai kedudukan yang tinggi dalam Al Qur'an. Oranga yang beriman tidak perlu menerima bahwa wahyu sudah mengandung segala-galanya. Wahyu bahkan tidak menjelaskan semua permasalahan keagamaan. Dengan demikian kita tidaklah heran kalau Sirajudin Abbas berpendapat bahwa Kaum Muktazillah banyak mempergunakan akal dan lebih mengutamakan akal bukan mengutamakan Al Qur'an dan Hadist.
Dari keempat pemikiran sebagaimana disebutkan diatas setidaknya dapat kita pahami bahwa masing masing tokoh memang tidak dapat terlepaskan dari pemikiran kalam dimasa lalu. HM. Rasyidi misainya pemikirannya lebih cenderung kepada pemikiran Ahlusunnah wal Jamaah atau al Maturidiytah yang dibangun oleh al Imam Asy'ari dan al Maturdi. Demikian juga dengan Harun Nasution dan Hasan Hanafi yang pemikirannya lebih cenderung kepada pemikiran Muktazilah dan Qadariyah yang lebih menekankan peranan akal dalam menghadapi realita takdir atau nasib dalam kehidupan di dunia ini.4
2. Pemikiran Kalam Harun Nasution
a. Peran Akal
Bukankan secara kebetulan bila Harun Nasution memilih problematika akan dalam system teologi Muhammad Abduh sebagai bahan kajian disertasinya di Universitas McGill, Montreal, kanada. Besar kecilnya peranan akal dalam system teologi suatu aliran sangat menentukan dinamais atau tidaknya pemahan seseorang tentang ajaran islam. ,” Akal melambangkan kekuatan manusia. Karena akallah mausia mempunyai kesanggupan untuk menaklukan kekuatan makhluk disekitarnya. Bartambah tinggi akal manusia tambah tinggilah kesanggupannya dalam mengalahkan makhluk lain. Bertambah lemah akal manusia, bertambah pulalah kesanggupanuya mengahadapi kekuatan-kekuatan lain tersebut.
Tema Islam agama rasional dan dinamis sangat kuat berger :i dalam tulisan-tulisan Harun Nasution, temtama dalam buku Akal. dan Wahyu dalam Islam, Teologi Islam: Aliran-aliran. Sejarah. Analisa Perbandingan, dan Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Muhammad Abduh.
Dalam ajaran Islam, akal mempunyai kedudukan tinggi dan banyak dipakai. bukan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan saja, tetapi juga dalam perkembangan ajaran-ajaran keagamaan Islam sendiri. Pemakaian akal dalam Islam diperintahkan AI-Quran sendiri. Bukanlah tidak ada dasarnya kalau ada penulis-penulis. baik di kalangan Islam sendiri maupun di kalangan non-Islam, yang berpendapat bahwa Islam adalah agama rasional?5
b. Pembaharuan teologi
Pembahanian teologi, yang menjadi predikat Harun Nasution, pada dasarnya di bangun diatas asumsi bahwa keterbelakangan dan
kemunduran umat Islam Indonesia (juga di mana saja) adalah di sebabkan ada yagn salah dalam teologi merek.
serupa dengan pandangan kaum miderens lain pendahulunya (Muhammad Abduh. Rasyid Ridha. AI-AfgIiani? Sayid Amer Ali. dan lainnya) yang memandang perlu untuk kembali kepada teologi Islam yang sejati. Retorika ini mengandung pengertian bahwa umat Islam dengan teologi fatalistik, irasiona! pre-determinisme serta penyerahan nasib teiah membawanasib mereka menuju kesengsaraan dan keterbelakangan.
Dengan demikian, jika hendak mengubah nasib umat islam
c. Hubungan akal dan wahyu
Salah satu fokus pemikiran Harun Nasution adalah hubungan antara akal dan wahyu. la menjelaskan bahwa hubungan wahyu dan akal memang mrenimbulkan pertanyaan, tetapi kedudukannya tidak bertentangan. Akalmempunyai kedudukan yang tinggi dalam A-Qur’an. Orang yang beriman tidak perlu menerima bahwa wahyu sudah mengandung segala-segala bahkan wahyu tidak menjelaskan semua permasalahan keagamaan.
Dalam pemikiran Islam. baik di bidang filsafat dan ilmu kalam, apalagi di bidang ilmu fiqih, akal tidak pernah membatalkan wahyu. Akal tetap tunduk kepada teks wahyu. Teks wahyu tetap dianggap benar. Akal dipakai untuk memahami teks wahyu dan tidak untuk menentang wahyu. Akal hanya memberi interpretasi terhadap teks wahyu sesuai dengan kecenderungan dan kesanggupan pemberi interpretasi, Yang dipertentangkan dalam sejarah pemikiran Islam sebenarnya bukan alcal dengan wahyu, tetapi penafsiran tertentu dari teks wahyu dengan penafsiran lain dari teks wahyu itu juga. Jadi. yang bertentangan sebenarnya dalam Islam adalah pendapat akal ulama tertentu dengan pendapat akal ulama lain.6
DAFTAR PUSTAKA
A.H. Ridwan, Reformasi Intelektual Islam, Ittaqa, Yogyakarta, Jakarta , 1998, hlm.
E. Kusnadiningrat, Teologi dan Pembahasan : Gagasan Islam Kiri Hasan Hanafi,Logos, Jakarta, 1999, hlm. 63-64
Hamersma, Heri, Pemikiran Kalam Masa Kini, Gramedia, Jakarta.1984.
Harun NAsution, Akal dan Wahyu dalam Islam , UI Press, Jakarta, 1980, HLM. 101.
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI Press, Jakarta, 1983, hlm. 56
Zaim Uchrowi, “ Menyeru Pemikiran Rasional Mu’tazilah, dalam Aqib Suminto (Ketua Panitia0 Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 Tahun Harun Nasution, Lembaga Studi Agama Islam Falsafat, Jakarta, 1989, hlm. 3 dan seterusnya.