PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Karena banyak orang yang tidak memahami Ilmu Mawaris, sehingga sangat sulit mencari orang yang sangat benar-benar menguasai ilmu ini.
Disisi lain banyak anggota masyarakat yang tidak mau tau dengan Ilmu Mawaris, sehingga akibatnya mereka membagi harta warisan menurut kehendak mereka sendiri dan tidak berpijak pada cara-cara yang benar menurut Islam.
B. Tujuan
Untuk dapat melaksanakan pembagian harta warisan kepada ahli waris yang berhak menerimanya sesuai dengan ketentuan syariat Islam. Agar diketahui secara jelas siapa orang yang berhak menerima harta warsan dan beberapa bagian pembagian harta warisan secara adil dan benar.
PEMBAHASAN
A. AL-AUL
Al-Aul artinya bertambah. Dalam ilmu faraidh Aul diartikan bagian-bagian yang harus diterima oleh ahli waris lebih banyak daripada asal masalahnya, sehingga asal masalahnya harus ditambah atau diubah. Misalnya:
1. Ahli waris terdiri dari suami dan 2 orang saudara perempuan kandung. Bagian suami 1/2 dan dua saudara perempuan kandung 2/3. Asal masalahnya adalah 6.
Suami = 1/3 x 6 = 3
2 saudara (pr) kandung = 2/3 x 6 = 4
Jumlah bagian 7
Asal masalah 6 sedangkan jumlah bagian 7, ini berarti tidak cocok. Agar harta warisan dapat dibagikan kepada ahli waris dengan adil, maka asal masalah dinaikkan menjadi 7, sehingga penyelesaiannya:
Suami = 3/7 x harta warisan
2 saudara (pr) kandung = 4/7 x harta warisan
2. Ahli waris terdiri dari istri, ayah, ibu dan 2 anak perempuan. Harta peninggalan sebesar Rp. 81.000,- Bagian masing-masing adalah istri 1/8. Ayah 1/6. Ibu 1/6 dan 2 anak (pr) 2/3. Asal masalahnya 24. Cara menghitungnya adalah:
Istri = 1/8 x 24 = 3
Ayah = 1/6 x 24 = 4
Ibu = 1/6 x 24 = 4
2 anak perempuan = 2/3 x 24 = 16
Jumlah bagian 27
Asal Masalahnya 24 sedangkan jumlah bagiannya 27. Maka asal masalahnya dinaikkan menjadi 27. Sehingga cara penghitungan akhirnya adalah:
Istri = 3/27 x 81.000,- = 9.000,-
Ayah = 4/27 x 81.000,- = 12.000,-
Ibu = 4/27 x 81.000,- = 12.000,-
2anakpr = 16/27 x 81.000,- = 48.000,-
Jumlah 81.000,-
3. Ahli waris terdiri dari istri, ibu, dua saudara perempuan kan-dung dan seorang saudara seibu. Harta peninggalan Rp 45.000.000,-.
Istri 1/4, ibu 1/6, dua saudara perempuan kandung 2/3 dan saudara seibu 1/6. Asal Masalahnya 12.
Istri = 1/4 x 12 = 3
Ibu = 1/6 x 12 = 2
2 sdr (pr) kandung = 2/3 x 12 = 8
seorang sdr seibu = 1/6 x 12 = 2
Jumlah 15
Asal masalahnya 12, sedangkan jumlah bagian 15, maka asal masalah dinaikkan menjadi 15. Cara penghitungan akhirnya:
Istri =3/15 x 45.000.000,- = 9.000.000,-
Ibu =2/15 x 45.000.000,- = 6.000.000,-
2 sdr (pr) kandung = 8/15 x 45.000.000,-= 24.000.000,-
1 saudara seibu =2/15 x 45.000.000,- = 6.000.000,-
Jumlah 45.000.000,-
B. AR-RADD
Ar-Radd (ar-raddu) yaitu: "mengembalikan". Me-nurut istilah faraidh ialah: "membagi sisa harta wa-risan kepada ahli waris menurut pembagian ma-sing-masing, setelah masing-masing menerima bagiannya."
Ar-Radd ini dilakukan karena setelah harta diperhitungkan untuk ahli waris, ternyata masih ada sisa harta. Sedangkan ahli waris tidak ada 'ashabah. Maka sisa harta tersebut dibagikan kepada ahli waris yang ada, kecuali suami/istri.
Contoh penyelesaian dengan radd:
Ahli waris terdiri dari seorang anak perempuan dan ibu.
Bagian anak perempuan 1/2 dan ibu 1/6. Asal masalahnya berarti 6
Anak perempuan = 1/2 x 6 = 3
Ibu = 1/6 x 6 = 1
Jumlah bagian 4
Asal masalah (KPT/KPK) adalah 6, sedangkan jumlah bagian 4. Maka penyelesaian dengan radd asal masalahnya dikem-balikan kepada 4. Sehingga cara penyelesaian akhirnya :
Anak perempuan = 3/4 x harta warisan = ....
Ibu = 1/4 x harta warisan = ....
Cara penyelesian di atas adalah apabila tidak ada suami atau istri. Apabila ada suami atau istri, cara penyelesaiannya adalah sebagai berikut;
Seseorang meninggal dengan meninggalkan harta sebesar Rp. 18.000.000,-. Ahli warisnya terdiri dari istri, dua orang saudara seibu dan ibu. Bagian istri 1/4, dua orang saudara seibu 1/3 dan ibu 1/6. Asal masalahnya adalah 12.
Istri = 1/4 x 12 = 3
Duasdr seibu = 1/3 x 12 = 4
Ibu = 1/6 x 12 = 2
Jumlah bagian 9
Karena ada istri, maka sebelum sisa warisan dibagikan, hak untuk istri diambil dulu dengan menggunakan asal masalah sebagai pembagi.
Maka untuk istri = 3/12 x Rp. 18.000.000 = Rp. 4.500.000,-. Sisa warisan setelah diambil istri berarti Rp. 18.000.000,- -Rp. 4.500.000,- = Rp 13.500.000,- dibagi untuk dua orang saudara seibu dan ibu, yaitg dengan cara bilangan pem-baginya adalah jumlah perbandingan kedua pihak ahli waris, yaitu 4 + 2 = 6. Maka bagian masing-masing adalah :
Dua sdr seibu = 4/6 x Rp. 13.500.000,- = Rp 9.000.000,-
Ibu = 2/6 x Rp. 13.500.000,- = Rp 4.500.000,-
Jumlah Rp 13.500.000,-
Maka perolehan akhir masing-masing ahli waris adalah :
Istri ' = Rp 4.500.000,-
Dua orang saudara seeibu = Rp 9.000.000,-
Ibu = Rp 4.500.000,-
Jumlah = Rp 18.000.000,-
C. GHARAWAIN
Gharciwain artinya dua yang terang, yaitu dua masalah yang terang cara penyelesaiannya. Dua masalah tersebut adalah:
Pertama, pembagian warisan jika ahli waris-nya suami, ibu dan bapak
Kedua, pembagian warisan jika ahli warisnya; istri, ibu dan bapak
Dua masalah tersebut berasal dari Ali bin Abi Thalib dan Zaid bin Tsabit. Kemudian disepakati oleh jumhur fuqaha. Dua hal tersebut di atas dianggap sebagai masalah karena jika dibagi dengan perhitungan yang umum, bapak memperoleh lebih kecil daripada ibu. Untuk itu dipakai pedoman penghitungan khusus sebagaimana di bawah ini:
1. Untuk masalah pertama maka bagian masing-masing adalah suami 1/2, ibu 1/3 sisa (setelah diambil suami) dan bapak 'ashabah.
Misalnya harta peninggalan Rp. 30.000.000,-
Cara pembagiannya adalah sebagai berikut:
Suami 1/2 xRp. 30.000.000,- = Rp 15.000.000,-
Sisa = Rp. 15.000.000,-
Ibu 1/3 xRp. 15.000.000,- = Rp. 5.000.000,-
Bapak'Ashabah = Rp. 10.000.000,-
Jumlah = Rp. 30.000.000,-
2. Untuk masalah kedua maka bagian masing-masing adalah istri 1/4, ibu 1/3 sisa (setelah diambil hak istri) dan bapak 'ashabah.
Misalnya harta peninggalan sebesar Rp. 60.000.000,-Cara pembagiannya adalah sebagai berikut:
Istri 1/4 x Rp. 60.000.000,- = Rp. 15.000.000,-
Sisanya = Rp. 45.000.000,-
Ibu 1/3 x Rp 45.000.000,- = Rp. 15.000.000,-
Bapak 'Ashabah = Rp. 30.000.000,-
Jumlah = Rp. 60.000.000,-
D. MASALAK MUSYARAKAH
Musyarakah atau musyarikah artinya yang diserikatkan. Yaitu jika ahli waris yang dalam perhitungan mawaris semestiny'a mem-peroleh warisan, tetapi tidak memperolehnya, maka disyarikatkan kepada ahli waris lain yang memperoleh bagian.
Masalah musyarikah ini terjadi jika ahli waris terdiri dari suami, ibu, 2 orang saudara seibu dan saudara laki-laki sekandung. Jika dihitung menurut kaidah mawaris yang umum, saudara laki-laki tidak mendapatkan warisan. Padahal saudara laki-laki kandung lebih kuat daripada saudara seibu. Dapat dilihat dalam pembagian di bawah ini:
Suami 1/2 = 3/6 = 3
Ibu 1/6 = 1/6 = 1
2 orang sdr. Seibu 1/3 = 2/6 = 2
Sdr laki-laki kandung Ashabah = 0 = tidak mendapat bagian
Menurut Umar, Utsman, dan Zaid yang diikuti oleh Imam Tsauri, Syafi'i dan lain-lain, pembagian seperti di atas tidak adil. Maka untuk pemecahannya saudara kandung disyarikatkan dengan saudara seibu di dalam bagian yang 1/3 (dibagi dua untuk dua orang saudara seibu dan saudara sekandung). Sehingga penyelesaiannya dapat dilihat dalam pembagian di bawah ini:
Suami 1/2 = 3/6 = 3
ibu 1/6 = 1/6 = 1
2 sdr. seibu dan saudara
(Ik) sekandung 1/3 = 2/6 = 2 jadi Jumlahnya 6
Bagian saudara seibu dan saudara laki-laki sekandung dibagi rata, meskipun di antara mereka ada ahli waris laki-laki maupun perempuan.
E. MASALAH AKDARIYAH
Akdariyah artinya mengeruhkan atau menyusah-kan, yaitu kakek menyusahkan saudara perem¬puan dalam pembagian warisan. Masalah ini terjadi ketika ada orang yang meninggal dengan meninggalkan ahli waris yang terdiri dari; suami, ibu, saudara perempuan kandung/sebapak dan kakek.
Menurut kaidah umum, pembagian mereka adalah:
Suami 1/2 = 3/6 = 3
Ibu 1/3 = 2/6 = 2
saudara perempuan 1/2 = 3/6 = 3
kakek 1/6 = 1/6 = 1
Jumlah 9 Asal masalah 6, dan dapat diselesaikan dengan aul = 9
Dalam pembagian di atas, kakek memperoleh bagian yang lebih kecil daripada saudara perempuan. Padahal kakek dan saudara perempuan mempunyai kedudukan yang sama dalam susunan ahli waris. Bahkan kakek adalah garis laki-laki, yang biasanya memperoleh bagian lebih besar daripada perempuan. Maka dalam masalah ini terdapat tiga pendapat dalam cara penyelesaiannya, yaitu:
Menurut pendapat Abu Bakar ra, saudara perempuan kan-dung/sebapak mahjub oleh kakek. Sehingga bagian yang diperoleh oleh masing-masing ahli waris adalah suami 1/4, ibu 1/3, kakek 'ashabah, dan saudara perempuan terhijab hirman.
Menurut pendapat Umar bin Khattab dan Ibn Mas'ud, untuk memecahkan masalah di atas, maka bagian ibu dikurangi dari 1/3 menjadi 1/6, untuk menghindari agar bagian ibu tidak lebih besar daripada bagian kakek. Sehingga bagian yang diperoleh masing-masing ahli waris adalah suami 1/2, Ibu 1/6, saudara perempuan 1/2 dan kakek 1/6. Diselesaikan dengan Aul.
Menurut pendapat Zaid bin Tsabit, cara menyelesaikan ma¬salah akdariyah tersebut dengan cara menghimpun bagian saudara perempuan dan kakek, lalu membaginya dengan prinsip laki-laki memperoleh dua kali bagian perempuan. Sebagaimana jatah pembagian umum, saudara perempuan 1/2 dan,'kakek 1/6. 1/2 dan 1/6 digabungkan lalu dibagikan untuk berdua dengan perbandingan pembagian saudara pe¬rempuan dan kakek = 2:1.
F. HAL-HAL YANG BERKENAAN DENGAN
HARTA PENINGGALAN
Jika seseorang muslim meninggal dunia dan meninggalkan harta warisan, maka sebelum harta tersebut dibagikan kepada ahli waris, terlebih dahulu ditunaikan kewajiban-kewajiban almarhum/al-marhumah, yang berkaitan dengan harta. Masalah-masalah yang berkaitan dengan harta tersebut antara lain:
1. Biaya penyelenggaraan jenazah
2. Pelunasan hutang, jika ada
3. Pelaksanaan wasiat, sebagaimana akan diuraikan pada bab VIII
G. PENETAPAN AHLI WARIS YANG
MENDAPAT BAGIAN
Setelah menyelesaikan persoalan-persoalan di atas, harus di-laksanakan "itsbatul war/s"penetapan ahli waris yang berhak me-nerima warisan. Dalam itsbatul waris ini harus dilakukan secara cermat langkah-langkah sebagai berikut:
1. Meneliti siapa saja yang menjadi ahli waris, baik karena hu-bungan kerabat, pernikahan maupun karena sebab lainnya.
2. Meneliti siapa saja yang terhalang menerima warisan. Misal-nya karena membunuh atau beda agama.
3. Meneliti ahli waris yang dapat terhijab.
4. Menetapkan ahli waris yang berhak menerima warisan, se-telah melakukan perhitungan yang tepat tentang jumlah harta peninggalan almarhum/almarhumah.
H. CARA PEMBAGIAN SISA HARTA
('ASHABAH)
Yang dimaksud dengan sisa harta warisan adalah :
1. Sisa harta setelah semua ahli waris menerima bagiannya
2. Sisa harta karena orang yang meninggal tidak mempunyai ahli waris
Di dalam menyelesaikan masalah di atas, para ulama ber-beda pendapat, antara lain sebagaimana dijelaskan di bawah ini:
3. Jumhur shahabat, imam Abu Hanifah, Imam Ahmad, dan ulama Syi'ah berpendapat:
a. Dibagikan kembali kepada dzawil furudh selain suami/ istri dengan jalan radd.
b. Bila tidak ada ahli waris, maka harta warisan diberikan kepada dzawil arham.
c. Bila dzawil arham pun tidak ada, maka harta peninggalan diserahkan ke baitul mal.
4. Imam Malik, Imam Syafi'i, AI-Auza'i dan lain-lain berpendapat bahwa sisa harta warisan, baik setelah ahli waris men-dapatkan bagiannya maupun karena tidak ada ahli waris, tidak boleh diselesaikan dengan jalan radd maupun diserah¬kan kepada .dzawil arham, tetapi harus diserahkan ke baitul mal untuk kepentingan umat Islam.
I. BAGIAN ANAK DALAM KANDUNGAN
Anak yang masih dalam kandungan jika ditinggalkan ayahnya merupakan masalah yang belum dapat dipastikan jika dikaitkan dengan masalah mawaris. Permasalahan-permasalahan tersebut antara lain:
1. Apakah janin yang masih dalam kandungan tersebut ada hubungan kekerabatan yang sah dengan si mati, maka perlu diperhatikan tenggang waktu antara akad nikah dengan usia kandungan. Jika usia kandungan lebih tua daripada usia akad nikah, maka bayi tidak berhak memperoleh warisan.
2. Belum bisa dipastikan jenis kelamin dan jumlah bayi dalam kandungan. Kemungkinan yang bisa terjadi adalah:
~ laki-laki; seorang atau lebih
~ perempuan; seorang atau lebih
~ laki-laki dan perempuan
~ banci dan lain-lain
3. Belum bisa dipastikan, apakah janin akan lahir dalam ke-adaan hidup atau mati.
4. Jika warisan dibagikan, maka ada kemungkinan-kemung-kinan yang bisa terjadi. Misalnya ada yang terhijab nuqshan maupun hirman. Atau mungkin melebihi yang diperkirakan, misalnya kalau bayi lahir meninggal.
Bayi yang lahir dalam keadaan hidup, mempunyai hak warisan dari ayahnya yang meninggal.
Rasulullah saw. bersabda:
Artinya:
"Jika anakyang dilahirkan berteriak, maka ia diberi warisan. " (HP. Ashab Al-Sunan)
Artinya:
"Say/ dalam kandungan tidak berhak mewarisi sehingga berteriak." (HR. Ahmad)
Jalan keluar dalam masalah di atas adalah:
1 . Para ahli waris yang ada boleh mengambil bagian dengan jumlah paling minimal dari kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi. Kecuali ahli waris yang terhijab hirman dengan lahirnya anak, tidak mengambil dahulu sampai ada kepastian kelahiran bayi.
2. Apabila harta warisan dapat dijaga dan pembagiannya tidak mendesak, maka pembagian warisan ditunda sampai bayi lahir.
J. BAGIAN ORANG YANG HILANG
Yang dimaksud hilang di sini adalah orang yang tidak lagi diketahui keberadaannya dalam jangka waktu yang relatif lama. Tidak diketahui beritanya, di mana tempat tinggalnya dan tidak diketahui apakah ia masih hidup atau sudah meninggal.
Orang yang hilang tersebut sebagai muwarits maupun ahli waris, maka dapat dilaksanakan sebagai berikut:
1. Apabila kedudukaffriya sebagai muwarits.
a. Harta orang yang hilang sebaiknya ditahan sampai ada kepastian keberadaannya, atau ada kepastian hidup atau matinya.
b. Ditunggu sampai batas usia manusia pada umumnya. Menurut Abdul Hakam ditunggu sampai batas usia lebih kurang 70 tahun.
2. Apabila kedudukannya sebagai ahli waris
Harta warisan dibagikan, dan ia (orang yang hilang) diberikan , bagian sebagaimana bagian semestinya. Jika ia masih hidup dan 'datang, maka bagiannya itu diserahkan. Kalau ternyata sudah meninggal, maka bagiannya diserahkan kepada ahli waris lain yang berhak.
K. BAGIAN ORANG YANG MENINGGAL
BERSAMA-SAMA
Orang yang meninggal dalam waktu yang bersamaan, baik itu karena kecelakaan; seperti tabrakan, tenggelam, kebakaran dan f lain-lain, maupun peperangan, atau karena penyakit, tidak saling waris mewarisi meskipun ada hubungan kekerabatan yang dekat atau karena pernikahan. Sebab adanya saling waris-mewarisi ada karena adanya dua pihak yang berlainan, yakni al-muwarits (orang yang mewariskan harta) sudah meninggal, sementara al-warits {(orang yang mewarisi) masih dalam keadaan hidup.
Pendapat di atas semula dipegang oleh Abu Bakar dan Umar, lalu diikuti oleh jumhur fuqaha. Antara lain Imam Malik, Imam Syafi'i, Imam Abu Hanifah dan lain-lain.
Dengan demikian, karena tidak saling mewarisi, maka harta peninggalan dibagikan kepada ahli waris yang masih hidup. Misalnya suami, istri, anak meninggal bersama-sama, dan meninggalkan harta, maka harta mereka dibagikan kepada masing-masing ahli warisnya yang masih hidup.
L. HIKMAH PEMBAGIAN WARISAN
1. Menghindarkan terjadinya persengketaan dalam keluarga karena masalah pembagian harta wariasn
2. Menghindari timbulnya fitnah. Karena salah satu penyebab timbulnya fitnah
adalah pembagian harta warisan yang tidak benar.
3. Dapat mewujudkan keadilan dalam keluarga, yang kemudian berdampak positif bagi keadilan dalam masyarakat
4. Memperhatikan orang-orang yang terkena musibah karena ditinggalkan oleh anggota keluarganya.
5. Menjunjung tinggi hukum Allah
KESIMPULAN
Bahwa sisa harta warisan baik setelah ahli waris mendapatkan begiannya maupun karena tidak ada ahli waris, tidak boleh diselesaikan dengan jalan Radd maupun diserahkan kepada Dzawil Arham, tetapi harus diserahkan kebaitul Mal untuk kepentingan umat islam.