SISTEM PEMERITAHAN INDONESIA A. Teori Sistem Pemerintahan
Sejak abad pertengahan para ahli politik telah berusaha menyusun klasifikasi bentuk-bentuk pemerintahan demokratis, tapi baru sebatas diskusi tentang sistem parlementer dan sistem presidensial. Dalam bukunya yang amat berpengaruh „TheAnalysis of Political Systems“, Verney (Routledge & Kegan Paul, 1979), menguraikan dua sistem pemerintahan yang paling popular dan paling banyak digunakan di Negara-negara konstusional demokratis. Dalam diskusi ilmiah tentang sistem pemerintahan, Inggeris selalu dipandang sebagai contoh pemerintahan parlementer, dan Amerika Serikat sebagai model pemerintahan presidensial.
Duverger (EJPR, 8/2, Juni 1980). Kemudian memperkenalkan bentuk pemerintahan ketiga, Sistem semipresidensial, dan Blondel (Kavanagh dan Peele, Eds., London, Heinemann, Boulder, 1984) memperkenalkan system semipresidensial ganda (semi-presidential dualist system semipresidensial ganda (semi-presidential dualist system ) Dari ketiga sistem tersebut dimana letak sistem pemerintahan Indonesia?
B. Sistem Parlementer
Sistem parlementer sebagaimana diterapkan di Inggeris tidak mengenal pemisahan kekuasaan antara cabang eksekutif dan legislatif. Pada abad XVI sebagai reaksi terhadap kekuasaan Raja James I yang hampir absolut, terbentuklah pemerintahan parlementer diawali dengan berdirinya lembaga perwakilan rakyat (assembly) yang secara bertahap mengambil alih kekuasaan legislatif dari tangan Raja. Tetapi, kekuasaan eksekutif tetap berada pada Raja. Dalam perkembangan selanjutnya, kekuasaan eksekutif Raja mulai diserahkan kepada menteri-menteri yang diangkat dari antara anggota-anggota badan perwakilan. Karena para menteri harus betanggunjawab kepada badan perwakilan, lambat laun kekuasaan badan perwakilan bertambah besar dan ditetapkan sebagai pemegang kedaulatan negara. Para menteri secara kolektif, atau Kabinet, harus betanggungjawab kepada badan legislatif dan adalah bagian dari badan tersebut. Karena itu dalam sistem parlementer tidak ada seperation of power, tetapi yang ada adalah fusion of power antara kekuasaan eksekutif dan kekuasaan eksekutif. Dengan kata lain, sistem parlementer adalah sistem politik yang menggabungkan kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif dalam suatu lembaga pemengang kedaulatan rakyat yang bernama Parlemen.
Pada sistem parlementer cabang eksekutif dipimpin oleh Kepala Negara, seorang Raja dalam negara monarki konstitusional atau seorang Presiden dalam republik, dan Perdana Menteri sebagai Kepala Pemerintahan. Kepala Pemerintahan ditunjuk oleh Kepala Negara dan para menteri diangkat oleh Kepala Negara atas usul Kepala Pemerintahan, Kabinet, yang terdiri dari Perdana Menteri dan para menteri, adalah lembaga kolektif, karena perdana menteri adalah orang yang pertama dari sesama (primus inter pares) sehingga tidak dapat memberhentikan seorang menteri. Tapi dalam kenyataannya perdana menteri selalu memilki kekuasaan yang lebih besar dari para menteri. Perdana menteri dan para menteri biasanya adalah anggota parlemen dan secara kolektif bertanggungjawab kepada badan legislatif. Pemerintah atau kabinet secara politis bertanggungjawab kepada parlemen. Untuk menghindarkankekuasaan legislatif yang terlalu besar atau diktatorial partai karena mayoritas partai yang terlalu besar, kepala pemerintahan dapat mengajukan usul kepada kepala negara untuk membubarkan parlemen.
Salah satu karakteristik utama sistem parlementer yang tidak dimiliki oleh sistem presidensial adalah kedudukan parlemen sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di atas badan perwakilan dan pemerintah (supremacy of parliament). Dalam sistem parlementer pemerintah tidak berada diatas badan perwakilan, dan sebaliknya badan perwakilan tidak lebih tinggi dari pemerintah. Karena perdana menteri dan para anggota kabinet tidak dipilih langsung oleh rakyat, pemerintah parlementer hanya bertanggungjawab secara tidak langsung kepada pemilih. Karena itu, dalam pemerintahan parlementer tidak dikenal hubungan langsung antara rakyat dengan pemerintah. Hubungan itu hanya dilakukan melalui wakil-wakil yang dipilih oleh rakyat. Parlemen sebagai pemegang kekuasaan tertinggi yang merupakan pusat kekuasaan dalam sistem politik harus selalu mengusahakan agar tercapai dinamika hubungan politik yang seimbang antara badan legislatif dan badan eksekutif. Dalam parlemen inilah kader-kader pimpinan bangsa ditata / dibentuk sebelum suatu hari mendapat kesempatan menjadi pemimpin Negara. Dari uraian tersebut di atas dapat diuraikan antara legislatif dan eksekutif memiliki hubungan yang erat dalam sebuah parlementer yang menghasilkan supremasi parlementer dan induknya adalah Iggris.
Cirri-cirinya adalah :
* Terdapat sekelompok eksekutif dalam menjalankan pemerintahan yang bertanggung jawab baik secara perseorangan maupun bersama-sama.
* Adanya kerja sama antara eksekutif dan legislatif. Legislatif dapat menyampaikan mosi tidak percaya kepada eksekutif dan sebaliknya.
* Kepala Negara hanya simbol pemersatu (pemerintahan terletak pada Perdana menteri dan menteri-menterinya).
C. Sistem Presidensial
Tentang pemerintahan presidensial biasanya tidak selalu dikaitkan dengan teori pemisahan keuasaan (seperation of powers) yang amat populer pada abad XVIII ketika Konstitusi Amerika Serikat disusun. Dua ahli politik yang amat berpengaruh pada masa itu adalah John Locke yang terkenal dengan pandangannya bahwa konflik berkepanjangan antara raja Inggris dengan parlemen adalah dengan memisahkan secara tegas raja sebagai kekuasaan eksekutif dengan badan perwakilan sebagai kekuasaan legislatif. Kedua kekuasaan itu harus dipisahkan dengan tegas dan masing-masing mempunyai bidang kekuasaan masing-masing.
Montesquieu, seorang pengamat sistem pemerintahan Inggris asal Prancis, ternyata membuat kesimpulan yang salah, dan menyimpulkan bahwa sistem parlementer Inggris adalah amat baik karena memisahkan kekuasaan negara menjadi kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Pemisahan seperti itulah yang disebutnya trias politica, yang selama 2 abad masih dipandang sebagai bentuk pemisahan kekuasaan yang paling baik dan benar. Trias politica ini digunakan oleh Pasca Amandemen UUD 1945 yang dibentuk MPR sebagai landasan teoritis ketika melakukan perubahan terhadap sistem pemerntahan negara Indonesia sebagaimana ditetapkan pada Pasal 1 ayat (2). Dilandasi oleh teori pemisahan kekuasaan dan didorong oleh keinginan yang kuat untuk menentang sistem parlementer yang dipandang sebagai budaya Negara kolonial Inggris, sistem presidensial Amerika memisahkan secara tegas tiga cabang kekuasaan.
Karena itu karakteristik pertama sistem presidensial adalah badan perwakilan tidak memiliki supremacy of parliament karena lembaga tersebut bukan lembaga pemegang kekuasaan negara. Untuk menjamin stabilitas sistem presidensial, presiden dipilih, baik secara langsung atau melalui perwakilan, untuk masa kerja tertentu, dan presiden memengang sekaligus jabatan Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Sebagai kepala pemerintahan dan satu-satunya kepala eksekutif, presiden mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri negara, yang berfungsi sebagai pembantu presiden dan memegang kekuasaan eksekutif dalam bidang masing-masing. Dalam sistem presidensial, kabinet tidak bertanggungjawab secara kolektif, tetapi tiap-tiap menteri bertanggungjawab secara individual kepada presiden. Dalam sistem presidensial, anggota badan legislatif tidak boleh merangkap jabatan cabang eksekutif, dan sebaliknya, pejabat eksekutif tidak boleh merangkap menjadi anggota badan legislatif.
Namun, pemisahan personalia cabang eksekutif dan legislatif tidak selalu diterapkan disemua negara yang menggunakan sistem presidensial. Di beberapa negara menteri diangkat sebagai anggota parlemen. Pada pemerintahan Orde Baru, para anggota Kabinet juga adalah anggota MPR, lembaga pemegang kedaulatan negara yang lebih kurang sama dengan parlemen dalam sistem parlementer. Presiden bertanggungjawab bukan kepada pemilih, tetapi kepada Konstitusi. Dia dapat di-impeach apabila melangar konstitusi, tetapi tidak dapat diturunkan karena tidak dapat memenuhi janjinya pada kampanye pemilu. Presiden dan badan perwakilan rakyat mempunyai kedudukan yang setara, karena itu tidak dapat salaing menjatuhkan. Dalam bahasa UUD 1945, Presiden adalah „neben“ bukan „geordenet“ dari DPR, sehingga tidak dapat saling menjatuhkan. Dalam teori, sistem presidensial tidak mengenal adanya supremasi satu cabang kekuasaan terhadap cabang kekuasaan lainnya. Masing-masing kekuasaan, legislatif, eksekutif dan yudikatif melakukan pengawasan terhadap cabang lainnya sesuai dengan ketentuan UUD. Karena itu yang berlaku adalah supremacy of the constitution. Cuma, dalam praktek, legislatiflah yang nyatanya memegang kekuasaan lebih tinggi.
Ciri-ciri sistem ini :
* Presiden pemegang kekuasaan tertinggi
* Menteri-menteri diangkat dan diberhentikan oleh presiden
* Presiden memegang masa jabatan secara tertentu kecuali ada tindakan amoral 8)
D. Sistem Semipresidensial
Sistem semi-presidensial adalah bentuk pemerintahan negara yang mencoba mengatasi kelemahan-kelemahan sistem parlementer maupun sistem presidensial. Kelemahan pokok sistem parlementer ialah sifatnya yang sangat tidak stabil karena setiap saat pemerintah, baik seluruh kabinet maupun setiap menteri, dapat menerima mosi tidak percaya dari parlemen. Akibatnya pemerintah jatuh dan terjadi pergantian pemerintah. Selama 4 tahun menggunakan sistem parlementer, Indonesia mengalami pergantian pemerintah sebanyak 33 kali (Feith, 1962).
Sistem presidensial mengandung kecenderungan konflik permanen antara cabang legislatif dan cabang eksekutif, terutama bila presiden terpilih tidak didukung oleh partai mayoritas yang berkuasa di parlemen. Padahal negara-negara baru yang tradisi demokrasinya belum terkonsolidasi dengan mantap selalu menghadapi kondisi seperti ini. Selain itu, kekuasaan yang besar ditangan presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif tunggal, selalu menggoda presiden untuk memperpajang masa jabatannya, yang kemudian berkembang menjadi kekuasaan otoriter. Ekses seperti itu dialami oleh banyak negara di Amerika Latin, Afrika dan Asia termasuk Indonesia yang menggunakan sistem presidensial.
Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan kedua sistem tersebut, pada awal Abad 20 berkembang model ketiga sistem pemerintahan yang oleh Duverger disebut sistem semi-presidensial. Sistem politik ketiga ini memiliki beberapa karakteristik sistem parlementer dan sistem presidensial.
Ciri utama sistem semipresidensial adalah sebagai berikut:
* Pusat kekuasaan berada pada suatu majelis perwakilan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi.
* Penyelenggara kekuasaan legislatif adalah suatu badan perwakilan yang merupakan bagian dari majelis perwakilan
* Presiden dipilih secara langsung atau tidak langsung untuk masa jabatan tertentu dan bertanggungjawab kepada majelis perwakilan
* Para menteri adalah pembantu presiden yang diangkat dan diberhentikan oleh presiden.
Kalau kita perhatikan uraian yang diberikan oleh Dr. Sukiman pada rapat BPUPK pada tanggal 15 Juli 1945 dan keterangan Prof. Soepomo pada rapat PPKI tanggal 18 Agustus 1945 beberapa saat menjelang pengesahan UUD 1945, jelas sekali sistem pemerintahan negara Indonesia yang diikuti oleh UUD 1945 pertama Indonesia tersebut adalah sistem semipresidensial.. Sekarang model tersebut semakin populer dan digunakan di banyak negara, karena dipandang sebagai bentuk pemerintahan demokratis yang lebih stabil dan lebih efektif di negara yang memiliki multi partai politik.
E. Sistem “Pemerintahan Sendiri”
Sejak UUD 1945 diberlakukan pada 18 Agustus 1945, konstitusi pertama tersebut telah ditafsirkan secara berbeda-beda oleh pemerintah yang menjalankannya. Antara 1945 sampai 1949 dan antara 1959 sampai 1966, UUD 1945 telah dilaksanakan dengan beberapa modifikasi dalam susunan pimpinan pemerintahan negara. Indonesia pernah menggunakan dual-executive sistem, dengan Presiden sebagai Kepala Negara dan perdana menteri sebagai Kepala Pemerintahan. UUD 1945 yang sama pernah ditafsirkan sebagai single-executive sistem, sesuai ketetapan Pasal 4 sampai 15 dan Presiden menjabat sebagai Kepala Negara serta sekaligus Kepala Pemerintahan.
Antara 1966 sampai 1998, berlaku sistem pemerintahan untuk negara integralistik dengan konsentrasi kekuasaan amat besar pada Presiden (too strong presidency). Sejak 2002, dengan berlakunya UUD 1945 hasil amandemen, berlaku sistem presidensial. Posisi MPR sebagai pemegang kedaulatan negara tertinggi dan sebagai perwujudan dari rakyat dihapus, dan badan legislatif ditetapkan menjadi badan bi-kameral dengan keuasaan yang lebih besar (strong legislative). Antara 1949 sampai 1959 Indonesia menggunakan sistem pemerintahan parlementer yang terbukti tidak mampu menciptakan stabilitas pemerintahn yang amat diperlukan untuk pembangunan bangsa, karena dalam waktu 4 tahun terjadi 33 kali pergantian kabinet (Feith, 1962 dan Feith, 1999).
Gerakan reformasi yang diawali di beberapa kampus utama di seluruh Indonesia, adalah upaya untuk mengadakan penataan kembali berbagai aspek kehidupan masyarakat di bidnag politik, ekonomi, hukum dan sosial. Tujuan utama gerakan reformasi 1998 dalam bidang politik adalah meningkatkan demokratisasi kehidupan politik dan perbaikan hubungan politik. Karena itu salah satu agenda utama reformasi politik adalah mengadakan amademen terhadap UUD 1945 untuk meningkatkan demokratisasi hubungan politik antara penyelenggara negara dengan rakyat, dan menciptakan distribusi kekuasaan (distribution of power) yang lebih efektif antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif, maupun antara pemerintah pusat dan pemrintah daerah untuk menciptakan mekanisme check and balances dalam proses politik.
Sebetulnya Gerakan Reformasi tersebut merupakan momentum yang amat baik bagi MPR sebagai lembaga pemegang kekuasaan tertinggi untuk mengadakan amendemen UUD 1945 untuk menciptakan sistem pemerintahan negara yang lebih dapat menjamin kehidupan politik yang lebih demokratis. Sayangnya peluang emas tersebut tidak dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Bahkan sebaliknya, amandemen UUD 1945 telah menghasilkan sistem pemerintahan baru, Sistem Presidensial, yang menyimpang dari bentuk dan susunan negara kekeluargaan yang merupakan salah satu staats fundamental norm sistem pemerintahan Indonesia.
Tujuan gerakan reformasi 1998 bukannya tercapai, malahan sebaliknya UUD 1945, hasil amandemen tahun 2002 bahkan telah menimbulkan kompleksitas baru dalam hubungan eksekutif dan legislative, bila presiden yang dipilih langsung dan mendapat dukungan popular yang besar tidak mampu menjalankan pemerintahannya secara efektif karena tidak mendapat dukungan penuh dari koalisi partai-partai mayoritas di DPR. Political gridlocks semacam itu telah diperkirakan dan karenanya ingin dihindari oleh para perancang UUD 1945, hampir 6 dekade yang lalu, sehingga akhirnya tidak memilih sistem presidensial sebagai sistem pemerintahan untuk negara Indonesia yang baru merdeka. (Setneng RI, 1998 dan Kusuma, FH-UI, 2004).
Setelah MPR mengesahkan amandemen ketiga dan keempat UUD 1945, sistem pemerintahan negara Indonesia berubah menjadi sistem presidensial. Perubahan tersebut ditetapkan dengan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 ( amandemen ). MPR tidak lagi merupakan perwujudan dari rakyat dan bukan locus of power, lembaga pemegang kedaulatan negara tertinggi.
Pasal 6A ayat (1) menetapkan “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”. Dua pasal tersebut menunjukkan karakteristik sistem presidensial yang jelas berbeda dengan staats fundamental norm yang tercantum dalam Pembukaan dan diuraikan lebih lanjut dalam Penjelasan UUD 1945.
Apakah amandemen pasal 1 ayat (2) dan pasal 6A, yang merupakan kaidah dasar baru sistem pemerintahan negara Indonesia, akan membawa bangsa ini semakin dekat dengan cita-cita para perumus konstitusi, suatu pemerintahan konstitusional yang demokratis, stabil dan efektif untuk mencapai tujuan negara?
Apakah sistem pemerintahan negara yang tidak konsisten dengan harapan para perancang konstitusi seperti tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 akan menjamin kelangsungan kehidupan bernegara bangsa Indonesia?
Ternyata tafsiran Pasca Amandemen UUD 1945, yang dibentuk MPR, tentang sistem pemerintahan negara berbeda dengan pemikiran dan cita-cita para perancang Konstitusi Pertama Indonesia. Bila dipelajari secara mendalam notulen lengkap rapat rapat BPUPK sekitar 11 – 15 Juli 1945 dan PPKI pada 18 Agustus 1945 yang terdapat pada Arsip A.G. Pringgodigdo dan Arsip A.K. Pringgodigdo (Arsip AG-AK-P), kita dapat menyelami kedalaman pandangan para founding fathers tentang sistem pemerintahan negara.
Arsip AG-AK-P yang selama hampir 56 tahun hilang baru-baru ini diungkapkan kembali oleh R.M. Ananda B. Kusuma, dosen Sejarah Ketatanegaraan Fakultas Hukum U.I., dalam sebuah monograf berjudul “Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945” terbitan Fakultas Hukum U.I. (2004). Kumpulan notulen otentik tersebut memberikan gambaran bagaimana sesungguhnya sistem pemerintahan demokratis yang dicita-citakan para perancang Konstitusi Indonesia. Notulen rapat-rapat BPUPKI dan PPKI mulai pertengahan Mei sampai Juli 1945 memberikan gambaran betapa mendalam dan tinggi mutu diskusi para Bapak Bangsa tentang sistem pemerintahan.
Pada sidang-sidang tersebut, Prof. Soepomo, Mr. Maramis, Bung Karno dan Bung Hatta mengajukan pertimbangan-pertimbangan filosofis dan hasil kajian empiris untuk mendukung keyakinan mereka bahwa Trias Politica ala Montesqieue bukanlah sistem pembagian kekuasaan yang paling cocok untuk melaksanakan kedaulatan rakyat.
Pada rapat Panitia Hukum Dasar, bentukan BPUPKI, tanggal 11 Juli 1945 dicapai kesepakatan bahwa Republik Indonesia tidak akan menggunakan sistem parlementer seperti di Inggris karena merupakan penerapan dari pandangan individualisme. Sistem tersebut dipandang tidak mengenal pemisahan kekuasaan secara tegas. Antara cabang legisltatif dan eksekutif terdapat fusion of power karena kekuasaan eksekutif sebenarnya adalah „bagian“ dari kekuasaan legislatif. Perdana Menteri dan para menteri sebagai kabinet yang kolektif adalah anggota parlemen.
Sebaliknya, sistem Presidensial dipandang tidak cocok untuk Indonesia yang baru merdeka karena sistem tersebut mempunyai tiga kelemahan. Pertama, sistem presidensial mengandung resiko konflik berkepanjangan antara legislatif – eksekutif. Kedua, sangat kaku karena presiden tidak dapat diturunkan sebelum masa jabatannya berahir. Ketiga, cara pemilihan “winner takes all” seperti dipraktekkan di Amerika Serikat bertentangan dengan semangat demokrasi.
Indonesia yang baru merdeka akan menggunakan „sistem sendiri“, sistem yang mengandung karakteristik sistem presidensial dan parlementer disebut Sistem Semi-Presidensial. Sistim pemerintahan demokratis yang dirumuskan oleh para perancang UUD 1945 mengandung beberapa ciri sistem presidensial dan sistem parlementer. “SISTEM SENDIRI” tersebut mengenal :
* Pemisahan kekuasaan yang jelas antara cabang legislatif dan eksekutif, yang masing-masing tidak boleh saling menjatuhkan,
* Presiden adalah eksekutif tunggal yang memegang jabatan selama lima tahun dan dapat diperpanjang kembali,
* Para menteri adalah pembantu yang diangkat dan bertanggungjawab kepada presiden.
Pada masa-masa awal negara Indonesia, para perancang memandang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung masih belum dapat dilakukan mengingat tingkat pendidikan masih rendah serta infrastruktur pemerintahan belum tersedia. Karena itu ditetapkan Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara tidak langsung oleh lembaga perwujudan seluruh rakyat yaitu MPR Presiden yang menjalankan kekuasaan eksekutif adalah mandataris MPR, sedangkan DPR adalah unsur dari MPR yang menjalankan kekuasaan legislatif (legislative councils).
* Presiden tidak dapat menjatuhkan DPR, sebaliknya DPR tidak dapat menjatuhkan Presiden.
* Bersama-sama Presiden dan DPR menyusun undangundang.
Pada notulen rapat tanggal 11-15 Juli BPUPKI dan rapat PPKI tanggal 18 Agustus 1945 dapat kita ikuti perkembangan pemikiran tentang kedaulatan rakyat yang dilaksanakan oleh Majelis Permusyawartan Rakyat sebagai penjelmaaan dari seluruh rakyat Indonesia yang memiliki konfigurasi sosial, ekonomi dan geografis yang amat kompleks. Karena itu MPR harus mencakup wakil-wakil rakyat yang dipilih, DPR, wakil-wakil daerah, serta utusan-utusan golongan dalam masyarakat. Dengan kata lain,MPR harus merupakan wadah multi-unsur, bukan lembaga bi-kameral.
Bentuk MPR sebagai majelis permusyawaratan-perwakilan dipandang lebih sesuai dengan corak hidup kekeluargaan bangsa Indonesia dan lebih menjamin pelaksanaan demokrasi politik dan ekonomi untuk terciptanya keadilan sosial, Bung Hatta menyebutnya sebagai ciri Demokrasi Indonesia. Dalam struktur pemerintahan negara, MPR berkedudukan sebagai supreme power dan penyelenggara negara yang tertinggi. DPR adalah bagian dari MPR yang berfungsi sebagai legislative councils atau assembly. Presiden adalah yang menjalankan tugas MPR sebagai kekuasaan eksekutif tertinggi, sebagai mandataris MPR. Konfigurasi MPR sebagai pemegang kekuasaan tertinggi tersebut dipandang para Bapak Bangsa sebagai ciri khas Indonesia dan dirumuskan setelah mempelajari keunggulan dan kelemahan dari sistem-sistem yang ada.
Sistem majelis yang tidak bi-kameral dipilih karena dipandang lebih sesuai dengan budaya bangsa dan lebih mewadahi fungsinya sebaga lembaga permusyawaratan perwakilan. Karena Arsip AG-AK-P yang merupakan sumber otentik tentang sistem pemerintahan negara baru saja terungkap, mungkin saja MPR, ketika mengadakanamandemen UUD 1945, tidak memiliki referensi yang jelas tentang sistem pemerintahan sebagaimana ditetapkan dalam UUD 1945. Kalau pemikiran para perancang konstitusi tentang kaidah dasar dan sistem pemerintahan negara sebagaimana tercatat pada notulen otentik tersebut dijadikan referensi, saya yakin bangsa Indonesia tidak akan melakukan penyimpangan konstitusional untuk ketiga kalinya. Susunan pemerintahan negara yang mewujudkan kedaulatan rakyat pada suatu Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam pandangan Bung Karno adalah satu-satunya sistem yang dapat menjamin terlaksananya politiek economische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial.
Sebagai penjelmaan rakyat dan merupakan pemegaang supremasi kedaulatan, MPR adalah penyelenggara pemerintahan negara tertinggi, “pemegang” kekuasaan eksekutif dan legislatif. DPR adalah bagian dari MPR yang menjalankan kekuasaan legislatif sedangkan Presiden adalah mandataris yang bertugas menjalankan kekuasaan eksekutif. Bersama-sama, DPR dan Presiden menyusun undang-undang. DPR dan Presiden tidak dapat saling menjatuhkan seperti pada sistem parlementer maupun presidensial. Sistem semi-presidensial tersebut yang mengandung keunggulan sistem parlementer dan sistem presidensial dipandang mampu menciptakan pemerintahan Negara berasaskan kekeluargaan dengan stabilitas dan efektifitas yang tinggi.
Berbeda dengan pemikiran BPUPK dan PPKI sebagai perancang konstitusi, para perumus amandemen UUD 1945, karena tidak menggunakan sumber-sumber otentik, serta merta menetapkan pemerintahan negara Indonesia sebagai sistem presidensial. Padahal pilihan para founding fathers tidak dilakukan secara gegabah, tetapi didukung secara empiris oleh penelitian Riggs di 76 negara Dunia Ketiga, yang menyimpulkan bahwa pelaksanaan sistem presidensial sering gagal karena konflik eksekutif – legislative kemudian berkembang menjadi constitutional deadlock. Karenanya sistem presidensial kurang dianjurkan untuk negara baru.
Notulen otentik rapat BPUPK dan PPKI menunjukkan betapa teliti pertimbangan para Pendiri Negara dalam menetapkan sistem pemerintahan negara. Pemahaman mereka terhadap berbagai sistem pemerintahan ternyata sangat mendalam dan didukung oleh referensi yang luas, mencakup sebagian besar negara-negara di dunia.
Mungkin penjelasan Prof. Dr. Soepomo pada rapat PPKI tanggal 18 Agustus 1945, beberapa saat sebelum UUD 1945 disahkan, dapat memberi kita gambaran tentang sistem pemerintahan khas Indonesia yang dirumuskan oleh para perancang konstitusi:
“Pokok pikiran untuk Undang Undang Dasar, untuk susunan negara, ialah begini. Kedaulatan negara ada ditangan rakyat, sebagai penjelmaan rakyat, di dalam suatu badan yang dinamakan di sini: Majelis Permusyawaratan Rakyat. Jadi Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah suatu badan negara yang memegang kedaulatan rakyat, ialah suatu badan yang paling tinggi, yang tidak terbatas kekuasaannya. Maka Majelis Permusyawaratan Rakyat yang memegang kedaulatan rakyat itulah yang menetapkan Undang Undang Dasar, dan Majelis Permusyawaratan itu yang mengangkat Presiden dan Wakil Presiden. Maka Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan garis-garis besar haluan negara …
Presiden tidak mempunyai politik sendiri, tetapi mesti menjalankan haluan negara yang telah ditetapkan, diperintahkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Disamping Presiden adalah Dewan Perwakilan Rakyat … badan yang bersama-sama dengan Presiden, bersetujuan dengan Presiden, membentuk Undang-Undang, jadi suatu badan legislatif … „
Demikianlah pokok-pokok fikiran para perancang UUD 1945 tentang susunan pemerintahan negara yang dipandang mampu mengatasi ancaman diktarorial partai pada sistem parlementer atau bahaya „political paralysis “ pada sistem presidensial, apabila presiden terpilih tidak didukung oleh partai mayoritas yang menguasai DPR. Para penyusun konstitusi menamakannya „Sistem Sendiri“. Ahli politik menamakannya sistem semi-presidensial. Bahkan Indonesia, menurut Blondel, pernah menerapkan sistem semipresidensial eksekutif ganda (semi-presidential dualist model) pada masa-masa awal dengan adanya Presiden sebagai Kepala Negara dan Perdana Menteri sebagai Kepala Pemerintahan.
Para perancang konstitusi seperti Prof. Soepomo sudah mengingatkan kita semua, untuk memahami konsitusi tidak cukup hanya dibaca dari yang tertulis pada pasal-pasalnya, tapi harus diselami dan difahami jalan fikiran para perancangnya serta konteks sejarah yang melingkunginya.
KESIMPULAN
Mobilisasi Tuntutan Untuk Pemurnian UUD 1945
Sekarang semakin jelas bukti-bukti yang menujukkan bahwa amandemen sistem pemrintahan negara Indonesia yang dilakukan oleh MPR telah meyimpang dari rancangan asli para perumus konstitusi yang berlandaskan pada kaidah dasar Negara kekeluargaan, negara yang berkedaulatan rakyat, serta penyelenggaraan demokrasi sosial ekonomi untuk mencapai kesejahteraan sosial, sebagaimana dicantumkan pada Pembukaan UUD 1945.
Karena itu tujuan reformasi untuk meluruskan dan memurnikan pelaksanaan UUD 1945 dapat dipastikan tidak akan tercapai bila tidak dilakukan upaya-upaya pemurnian kembali UUD 19945 sesuai dengan staats fundamental norm nya yang semula. Karena itu salah satu agenda pokok yang perlu dilakukan oleh Presiden terpilih ( 2009 ) setelah pelantikan adalah mengambil langkah-langkah untuk mengembalikan kemurniaan UUD 1945 sesuai dengan kaidah fundamentilnya. Pemurnian UUD 1945 agaknya tidak mungkin dilakukan oleh MPR hasil Pemilu 2004 karena MPR yang bi-kameral tersebut bukan lembaga pemegang kedaulatan rakyat. Salah satu langkah konstitusional yang dapat ditempuh adalah meminta persetujuan rakyat untuk memurnikan UUD 1945 melalui referendum. Terakhir dapat saya pastikan ketika sitem pemerintahan yang ada sekarang yaitu presidensial tidak berhasil pasti sistem pemerintahan Indonesia akan berganti lagi dan nasib rakyat pasti diabaikan.