KATA PENGANTAR
Puji syukur kami
panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan taufik, hidayah serta
inayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang yang berjudul “Al-Muhkam dan Al-Mutasyabih” tepat
pada waktunya.
Shalawat serta salam tak lupa kami haturkan kepada junjungan
Nabi Muhammad SAW yang telah membawa
kita dari zaman kegelapan menuju zaman yang terang benderang yaitu dengan agama
islam.
Makalah ini kami
buat sebagai bahan diskusi mata pelajaran Ulumul Qur’an, semoga makalah ini
juga bisa bermanfaat untuk mahasiswa pada umumnya.
Kami mengucapkan
banyak terima kasih kepada dosen
pengampu yang telah memberi pengarahan selama penyusunan makalah ini. Kami juga
menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu kami
membutuhkan kritik dan saran yang sifatnya membangun guna memperbaiki
kekurangan-kekurangan agar dimasa yang akan datang bisa lebih baik.
DAFTAR ISI
Halaman Judul ......................................................................................................... i
Kata Pengantar......................................................................................................... ii
Daftar Isi ................................................................................................................ iii
Pendahuluan ............................................................................................................ 1
Pembahasan ............................................................................................................. 2
- Dalalah
Lafadz Terhadap Maknannya ........................................................ 3
- Pengertian
Al-Muhkam dan Al-Mutasyabih ............................................... 4
- Pembagian-Pembagian
Ayat-Ayat Mutasyabihat ....................................... 8
- Sikap
Ulama Terhadap Al-Mahkam dan Al-Mutasyabihat ......................... 9
- Kaidah-Kaidah
Muhkam dan Mustasyabih............................................... 14
- Hukum
Muhkam dan Mutasyabih............................................................. 15
Kesimpulan ........................................................................................................... 16
Daftar Pustaka ................................................................................................. ..... 17
PENDAHULUAN
Al-Qur’an merupakan
petunjuk bagi manusia dan juga dalam menjalankan kehidupan di dunia. Al-Qur’an juga
berfungsi sebagai sumber ajaran agama islam. Al-Qur’an menggariskan pokok-pokok
akidah yang benar dan prinsip-prinsip yang lurus dalam ayat-ayat yang tegas
keterangannya dan jelas cirri-cirinya. Semua itu bertujuan untuk memelihara
manusia dari akidah yang menyimpang dan menyelamatkan manusia hidup di dunia
dan akhirat.
Ayat-ayat yang
terkandung dalam Al-Qur’an adakalanya berbentuk lafaz, ungkapan, dan uslub yang
berbeda tetapi artinya tetap satu, sudah jelas maksudnya sehingga tidak
menimbulkan kekeliruan bagi orang yang membacanya. Di samping ayat yang sudah
jelas tersebut, ada lagi ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat umum dan samar-samar
yang menimbulkan keraguan bagi yang membacanya sehingga ayat yang seperti ini menimbulkan ijtihad bagi
para mujtahid untuk dapat mengambil kepada makna yang jelas dan tegas.
Kelompok ayat
pertama, yang telah jelas maksudnya itu disebut dengan Muhkam, sedangkan kelompok ayat kedua yang masih samar-samar
disebut dengan Mutasyabih, kedua
macam ayat inilah yang akan menjadi pembahasan dalam makalah ini.
Seluruh Al-Qur’an
adalah muhkam jika kata muhkam itu berarti kokoh, kuat membedakan antara yang
hak dengan yang batil, yang benar dan yang salah. Dan Al-Qur’an itu seluruhnya
adalah mustasyabih itu berarti kesempurnaan dan kebaikan. Al-Qur’an satu ayat
dengan ayat lainnya saling menyempurnakan dan memperbaiki ajaran-ajaran yang
salah selalu dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Dalam makalah ini
juga akan membahas dalalah lafadz yang berhubungan dengan makna yang jelas
ataupun dengan makna hakikat muhkam dan mustasyabih.
PEMBAHASAN
AL-MUHKAM DAN
AL-MUTASYABIH
A. Dalalah Lafdz Terhadap
Maknanya
Yang dimaksud dengan dalalah lafadz terhadap maknanya
adalah bahwa suatu lafadz yang lazim diketahui artinya maka mesti di ketahui
maknanya oleh yang meletakannya.
Dalam pembahasan ini terdapat dua bagian :
1.
Pembagian dalalah lafadz
menurut ahli Mantiq terdapat tiga macam :
a.
Dalalah Al-Muthabaqah ; yaitu
suatu lafadz yang menunjukkan arti yang tepat sebagaimana diletakkannya seperti
dalalah al-insan (manusia), yang berarti al-hayawan al-nathiq (binatang yang
berakal).
b.
Dalalah Al-Tadlamun ; yaitu
dalalah lafadz atas bagian dari makna yang telah diletakkan. Seperti dalalah
lafadz insane atas setiap yang berakal.
c.
Dalalah Al-Iltizam ; yaitu
dalalah lafadz sesuai dengan pemahaman pada pikiran yang tidak bisa dipisahkan dari
arti katanya, seperti Dalalah lafadz matahari atas sinarnya.
2.
Pembagian dalalah lafadz
menurut ulama ushul berdasarkan kepada kesamaran dan kejelasan maknanya terbagi
menjadi dua bagian yaitu khafi al-dalalah dan dzahir al-dalalah yang
masing-masing mempunyai cabang yaitu:
a.
Khafi al-dalalah ; yaitu yang
asli katanya mempunyai arti samar ataupun kesamarannya dikarenakan oleh hal
lain, atau bahkan tidak dapat dipahami sama sekali, atau dapat hilang
kesamarannya artinya dengan mengembalikan kepada yang mengatakannya atau dengan
penelitian dan perenungan. Pembagian ini berdasarkan tingkat kesamaran
dalalahnya ada empat bagian, yaitu :
1.
Al-Mutasyabih yaitu sesuatu
yang pada asalnya tidak jelas dalalah terhadap maknanya dan tidak diketahui
maksudnya karena hanya Allah-lah yang mengetahui secara parti dan benar.
2.
Al-Mujmal yaitu yang pada
asalnya samar makna dalalah lafadz dan dapat hilang kesamarannya dengan
keterangan dari yang mengatakan.
3.
Al-Masykil yaitu suatu lafadz
yang pada dasarnya dalalahnya samar atas maknanya, dan dapat hilang
kesamarannya dengan penelitian dan perenungan.
4.
Al-Kahfi yaitu suatu lafadz
yang mempunyai dalalah jelas pada maknanya, akan tetapi menjadi samar karena
hal atau lafadz lain.
b.
Dhahir al-dalalah, adalah suatu lafadz yang
dapat diketahui maknanya dengan shigatnya akan tetapi tergantung dengan hal
diluar lafadz tersebut. Berdasarkan tingkatan kejelasannya dalalah terhadap
maknanya lafadz mempunyai empat bagian yaitu :
1.
Al-dhatur, yaitu lafadz yang
dalalah maknanya secara jelas tidak diketahui dan ditafsirkan atau dita’wilkan
dan juga dapat dinaskh pada masa Rasulullah SAW.
2.
Nash, yaitu lafadz yang
dalalahnya dapat diketahui dari maknanya yang dimaksud dalam derivasi kata dan
dalalahnya dapat ditafsirkan atau di ta’wilkan dan dapat dinaskh pada masa
Rasul.
3.
Al-Mufassar yaitu lafadz yang
dalalahnya pada mulanya dapat diketahui dari makna yang dimaksud dalam syiqaqnya atau dapat
diketahui karena hal yang menyertai dan tidak
dapat ditafsirkan / di ta’wilkan, akan tetapi dapat dinaskh pada masa rasul.
4.
Al-Muhkam yaitu lafadz yang
dalalahnya dapat diketahui dari makna di maksud dalam syiqaqnya dan tidak dapat
dita’wilkan / ditafsirkan dan tidak dapat di naskh pada masa Rasul.
B. Pengertian Al-Muhkam dan
Al-Mutasyabih
- Pengertian Bahasa
Muhkam menurut bahasa berasal dari kata hakama yang arti asalnya
“menanti atau mencegah untuk kemaslahatan”. Kata mahkam berarti (sesuatu) yang
di kokohkan. Ih kam al kalam mempunyai makna mengokohkan perkataan dengan
memisahkan berita yang benar dari salah, dan urusan yang lurus dari yang sesat.
Berdasarkan makna
inilah firman Allah SWT :
Artinya :
Alif loam ra
(inilah) sebuah kitab yang ayatnya dimahkamkan, di kokohkan serta di jelaskan
secara rinci, diturunkan dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana Lagi Maha Tahu (Qs. Hud. 11:1)
Semua ayat Al-Qur’an adalah muhkam berarti kata-katanya
kokoh, kuat, indah susunannya dan sama sekali tidak mengandung kelemahan baik
dalam hal kata-katanya, rangkaian kalimatnya maupun maknanya.
Mutasyabih secara bahasa
berarti tasyabuh, yakni bila salah satu dari dua serupa dengan yang
lain. Syubhah berarti keadaan dimana salah satu dan karena adanya kemiripan
diantara keduannya, baik secara kongkrit maupun abstrak.
Dengan pengertian inilah Allah mensifati Al-Qur’an yang
di tegaskan dalam ayat :
Artinya :
Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu)
Al-Qur’an yang serupa lagi berulang-ulang. (QS.
Al-Zumar 39 : 23).
Makna mutasyabih
pada ayat diatas adalah Al-Qur’an itu sebagian kandungannya serupa dengan
sebagian yang lain dalam kesempurnaannya dan keindahannya sesuai pula maknanya.
- Pengertian Istilah
Ulama Berbeda pendapat dalam merumuskan definisi muhkam dan
mutasyabih. Jika diteliti lebih dalam semua defini di kemukakan bertitik tolak
dari ayat Al-Qur’an yang artinya :
“ Dialah yang menurunkan Al-Kitab
(Al-Qur’an) kepada kamu. Diantara isinya ada ayat-ayat yang mahkamat itulah
pokok-pokok isi Al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabih adapun
orang-orang yang dalam hatinya cenderung kepada kesesatan, maka mereka
mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabih untuk menimbulkan fitnah dan untuk
mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan
Allah SWT. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata : “ Kami beriman
kepada ayat-ayat yang mutasyabih semuanya dari sisi Tuhan kami” dan tidak dapat
mengambil pelajaran melainkan orang-orang yang berakal”. (QS. Ali Imran 3 :
7)
Dari perbedaan
pendapat dari ulama mahkam dan mutasyabih yang terpenting diantaranya :
-
Muhkam adalah ayat yang mudah
diketahui maksudnya, sedangkan mutasyabih hanyalah Allah yang mengetahui
maksudnya
-
Muhkam merupakan ayat yang hanya
mengandung satu wajah, sedangkan mutasyabih mengandung banyak wajah-wajah
-
Muhkam adalah ayat yang
maksudnya dapat diketahui secara langsung, tanpa memerlukan keterangan lain,
sedangkan mutasyabih tidak demikian, yang memerlukan penjelasan yang merujuk
kepada ayat-ayat lain.
Selain penjelasan diatas, ada juga beberapa pengertian yang
dikemukakan oleh ulama tafsir mengenai muhkam dan mutasyabih :
- Imam Al-Razi
Muhkam adalah ayat-ayat yang dalalahnya kuat baik maksud
maupun lafadznya, sedangkan mutasyabih adalah ayat-ayat yang dalalahnya lemah,
masih bersifat mujmal, memerlukan ta’wil dan sulit dipahami.
- Manna Al-Qoththan
Mahkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui secara
langsung tanpa memerlukan keterangan lain, sedangkan mutasyabih tidak seperti
itu, ia memerlukan penjelasan dengan menunjuk kepada ayat lain.
- Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Muhkam adalah ayat-ayat yang jelas maknanya yang tidak
ada keraguan dan kesamaran di dalamnya, sedangkan mutasyabih adalah ayat-ayat
Al-Qur’an yang mengandung kesamaran artinya sehingga orang-orang yang kemiliki
keraguan akan segala pengertian terhadap Allah, kitab-kitab dan Rasulnya.
Pendapat lain sebagaimana dikutip oleh
al-Suyuthi bahwa; 1) muhkam adalah yang dapat diketahui maksudnya dengan
nyata dan jelas ataupun dengan cara ta'wil. Sedangkan mutasyabili adalah
sesuatu yang hanya diketahui oleh Allah seperti kedatangan hari kiamat dan
maksud dari huruf-huruf terpisah yang terdapat pada beberapa awal surah. 2) Muhkam
adalah yang tidak dapat dita'wilkan kecuali hanya dengan satu penta'-wilan
saja, sedangkan mutasyabih adalah yang mungkin dapat dita'wilkan dengan
banyak penta'wilan. 3) Muhkam adalah ayat yang menerangkan tentang faraidl,
ancaman, dan harapan, Sedangkan mutasyabih adalah tentang ayat-ayat
yang berhu-bungan dengan kisah-kisah dan amstal. 4) Muhkam adalah
lafadz yang tidak diulang-ulang, sedangkan mutasyabih adalah sebaliknya.
5) Sebagaimana ada yang mengatakan bahwa muhkam at adalah ayat-ayat yang
tidak dinasakh, maka mutasyabihat adalah ayat-ayat atau
ajaran-ajaran yang telah dinasakh. 6) Ada yang berpendapat bahwa muhkam
adalah ayat-ayat yang berkenaan dengan halal dan haram, sedangkan mutasyabihat
adalah ayat-ayat selain yang berkenaan dengan halal dan haram 7 Dan masih
banyak pendapat para ulama yang mengemukakan tentang perbedaan muhkam dengan
mutasyabih.
Dari beberapa pendapat yang beragam
di atas dapat dipadukan antara muhkam dan mutasyabih, bahwa
yangdimaksud dengan muhkam adalah kekokohan lafadz ayat dan
kemantapannya serta tidak akan terjadi perselisihan dan kekurangan dalam
al-Qur'an. Sedangkan yang dimaksud dengan mutasyabih adalah penyerupaan
antara bagian yang satu dari al-Qur'an dengan bagian yang lain dalam hal
kebe-naran, ketepatan, dan i'jaznya. Lebih jelasnya mutn^mkih arM^h
sesuatu yang telah diketahui artinya namun mustahiJ untuk dikatakan sebagaimana
yang dimaklumi, seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan sifat-sifat Allah
swt. Semua pengertian di atas, dapat dikatakan benar karena pengertian muhkam
dan mutasyabih dapat mencakup seluruh pengertian.
Pengertian-pengertian tentang muhkam dan mutasyabih yang
diketengahkan al-Suyuthi dapat dikompromikan menjadi satu pengertian, yaitu muhkam
adalah lafadz yang dalalahnya jelas dan tidak terjadi
perselisihan di dalamnya, termasuk dalam hal ini adalah segala lafadz yang
maknanya hanya dapat dita'wilkan atau ditafsirkan dengan satu pengertian, juga
segala perintah Allah yang berkenaan dengan halai dan haram, perintah dan
larangan, dan segala lafadz yang telah jelas lafadz dan maknanya.
B. Jenis Muhkam
Muhkam dan mutasyabih masing-masing dapat di bagi ke
dalam dua kategori, yakni : muhkam li dzatihi dan muhkam li ghairihi. Muhkam
sebagaimana yang telah diuraikan diatas, sedangkan muhkam li ghairihi adalah
ayat-ayat yang belum di naskh pada masa Rasulullah, sebagaimana dikemukakan
oleh Al-Badawi dalam kasy al-asrar yang dikutip oleh Al-KS:
“ Yang tidak
dinaskh kan sehingga keputusannya wahyu dan nabi telah wafat, maka ini
dinamakan muhkam li ghairihi, jenis ini mencakup al-dzahir, al-nash, al-mufassar,
dan al-muhkam” karena masing-masing
belum terkna naskh hingga muhkam yang disebabkan oleh terputusnya
kemungkinan adanya naskh.
Mutasyabih juga
mempunyai dua bentuk yaitu mutasyabih ayat yang terdapat dalam lafadz huruf berupa
huruf-huruf pada mulanya beberapa surah dalam al-Qur’an, dan mutasyabih yang
terdapat dalam mahfum ayat seperti yang terdapat pada ayat-ayat yang berbicara
tentang sifat-sifat Allah SWT.
C. Pembagian Ayat-Ayat
Mutasyabih
Ayat-ayat yang jelas dan terang maknanya, tidak kita
bahas terlalu jauh. Karena apabila kita membacanya kita langsung dapat memahami
kandungan isinya. Akan tetapi yang perlu kita bahas lebih jauh lagi adalah
ayat-ayat mutasyabihat agat kita dapat mengetahui persoalannya.
Ayat-ayat mutasyabih dapat dikategorikan kepada tiga
bagian yaitu pertama mutasyabih dari lafadz kedua mutasyabih dari segi
maknanya, dan yang ketiga merupakan kombinasi dari keduannya yaitu dari segi
lafadz dan maknanya sekaligus.
1. Mutasyabih dari Segi
Lafadz
Mutasyaabih dari segi lafadz dapat pula dibagi mdu macam :
a. Yang
dikemablikan kepada lafadz yang tunggal yang sulit pemaknaannya seperti dan yang dilihat
dari segi gandanya lafadz itu dalam pemakdanaannya, seperti lafadz.
b. Lafadz
yang dikembalikan kepada bilangan susunan kalimatnya yang seperti ini ada tiga
macam :
1. Mutasyabih
karena ringkasan kalimat, seperti firman Allah :
2.
Mutasyabih karena luasnya
kalimat, seperti firman Allah
Niscaya akan lebih mudan dipahami jika diungkapkan
dengan
3.
Mutasyabih karena kalimatnya,
seperti firman Allah :
Akan mudah dipahami nila diungkapkan dengan :
2. Mutasyabih dari Segi
Maknanya
Mutasyabih ini adalah menyangkut sifat-sifat Allah,
sifat hari kiamat, bagaimana dan kapan
terjadinya. Semua sifat yang demikian tidak dapat
digambarkan secara konkret karena kejadiannya belum pernah dialami oleh
siapapun.
3. Mutasyabih dari Segi
Lafadz dan Makananya
Mutasyabih dari
segi ini, menurut As-Suyuthi, ada lima macam yaitu :
- Mutasyabih dari segi kadarnya,
seperti lafadz yang umum dan khusus :
- Mutasyabih dari segi caranya,
seperti perintah wajib dan sunnah :
- Mutasyabih dari segi waktu,
seperti naskh dan mansukh
- Mutasyabih dari segi tempat dan
suisasana di mana ayat itu diturunkan,misalnya :
- Mutasyabih dari segi
syarat-syarat, sehingga suatu amalan itu tergantung dengan ada atau tidak
adanya syarat yang dibutuhkan.
Misalnya ibadah shalat dan nikah tidak dapat dilaksanakan jika tidak
cukup syaratnya.
D. Sikap Ulama Terhadap
Al-Mukam dan Al-Mutasyabih
Tidak terdapat perbedaan pendapat ulama untuk mengetahui
maksud ayat-ayat muhkam. Namun meyangkut ayat-ayat mutasyabihat, terjadi
perbedaan pendapat sumber perbedaan pendapat ini berawal pada masalah waqaf
dalam ayat-ayat wa al-rasikhuna fi al-ilmu (dan orang-orang yang dalam ilmunya)
dalam ayat.
Perbedaan tersebut terjadi karena :
Apakah kedudukan lafadz-lafadz ini sebagai “Mubtada”
yang kabarnya adalah yaquluha dengan “wawu” diperlukan sebagai huruf isti’naf
(permulaan) dan waqaf dilakukan pada lafal atau ia ma’tuf, sedang lafadz yaquluna sebagai
hal dan waqafnya, pada lafadz wa al-rasikhuna fi al-ilmi.
Dalam perbedaan ini
ada beberapa pendapat yaitu :
Imam mujahid dan sahabat-sahabat serta Imam Nawawi
cenderung berpendapat bawha wa al-raskhina fi al-ilmi di atbaf-kan kepada
Allah. Dengan kata lain mereka berpendapat bahwa ta’wil dari ayat mutasyabih
dapat diketahui, di samping oleh Allah, juga oleh orang-orang yang dalam ilmunya.
Kelompok ini berpendapat dengan menggunakan dalil:
Hadits riwayat Ibnu
Mundzir, Mujahid dan Ibn Abbas mengenai ayat 7 surat Ali Imran tersebut.
Terhadap ayat ini Ibn Abbas berkata” Saya termasuk orang-orang yang lebih
mengetahui ta’wilnya.
Hadits riwayat Ibn Hatim dari Dhaka yang berkata “ Orang-orang yang
mendalam ilmunya mengetahui ta’wilnya, tentulah mereka tidak mengerti mana yang
naskh dan mana yang mansukh dan tidak mengetahui yang halal dari yang haram
serta yang muhkam dari yang mutasyabih.
Sebagian besar
ulama berpendapat, tidak ada yang mengetagui ta’wil ayat mutasyabih kecuali
Allah sendiri. Mereka menjawab supaya orang-orang tidak mencari ta’wilnya dan
menyerahkan persoalan itu kepada Allah SWT. Sementara mereka yang dalam ilmunya
mengenai ta’wil Al-Qur’an berakhir pada ucapan: kami mengimaninya, semuanya
datang dari Allah Tuhan kami.
Untuk
mengkompromikan kedua pendapat diatas dapat dilihat melalui makna ta’wil karena
lafadz ta’wil digunakan untuk menunjukkan 3 makna :
Pertama, memalingkan sebuah lafadz dari makna yang rajah (kuat)
kepada makna yang marjuh, karena ada suatu dalil yang menghendakinya.
Kedua, ta’wil dengan makna tafsir yang berarti menerangkan
menjelaskan, berarti pembicaraan untuk menafsirkan lafadz-lafadz agar maknanya
dapat dipahami.
Ketiga, ta’wil merupakan subtansi yang kepadanya pembicaraan di
kembalikan.
Golongan yang mengatakan bawha waqaf dilakukan pada
lafadz wa ma ya’lamu illa Allah dan menjadikan wa al-rasikhuna fi al-ilmi
sebagai permulaan, mengatakan ; ta’wil dalam ayat ini adalah ta’wil dengan
pengertian ketiga, yakni hakikat yang dimaksud dari suatu perkataan. Karena itu
hakikat zat Allah, esensi-Nya, kaifiyat dan sifat-Nya, serta hakikat hari
kemudian, semua itu ada yang mengetahui kecuali Allah SWT sendiri.
Sebaliknya,
golongan yang mengatakan waqaf pada
lafadz athaf, bukan isti’naf mengartikan kata ta’wil tersebut dengan arti
kedua, yaitu ta’wil dalam arti tafsir, menerangkan, menjelaskan, dan
mengungkap.
Dari uraian di atas
dapat diambil kesimpulan bahwa tidak ada pertentangan antara kedua pendapat
tersebut. Perbedaan ini hanya berkisar dalam tataran bahasa.
Dari dua pendapat
yang kelihatannya kontradiksi di atas, ada lagi ulama yang berpendapat lain.
Dalam hal ini Ar-Raghib Al-Asfahani dia
mengambil jalan tengah dari kedua pendapat diatas. Ar-Righib membagi ayat-ayat
mutasyabih menjadi 3 bagian :
- Ayat yang sama sekali tidak
diketahui hakikatnya oleh manusia, seperti waktu tibanya hari kiamat.
- Ayat mutasyabih yang dapat
diketahui oleh manusia (orang awam) dengan menggunakan berbagai sarana
terutama kemamp;uan akan pikiran.
- Ayat-ayat mutasyabih yang
khususnya hanya dapat diketahui maknanya oleh orang-orang yang ilmunya
dalam dan tidak dapat diketahui oleh orang-orang selain mereka.
Di dalam pokok-pokok yang merupakan pembahasan mufassirin di dalam
menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang mutasyabih. Sedangkan ayat-ayat mutasyabih
tentang sifat-sifat Allah terdapat lagi perbedaan di kalngan ulama:
Pertama, Muzhab
Salaf mengimani sifat-sifat Mutasyabih dan menyerahkan maknaya kepada Allah
SWT. Pendapat ini didasari oleh ayat 5 Surah thaha yang berbunyi :
Yaitu Tuhan Yang Maha Pemurah yang
bersemayam di atas Arsy.
Dari ayat di atas
muncul kisah dimana pada suatu hari Imam malik di Tanya tentang makna Istiwa”
(bersemayam), lalu ia menjawab : “ Lafadz Istiwa” dapat dimengerti, tetapi
tentang bagaimana tidaklah dapat diketahui oleh seorang pun selain Allah SWT.”
Bahkan Imam Malik mengatakan bahwa pertanyaan seperti itu adalah bid’ah.
Kedua. Muzhab Kahlifah
menyikapi sifat-sifat mutasyabih Allah, dengan menetapkan makna-makna bagi
lafadz-lafadz yang menuntut lahirnya mustahil bagi Allah, dengan pengertian
yang layak bagi zat Allah, golongan ini dinamakan juga dengan golongan
muawwilah.
Dari kedua pendapat
tentang ayat-ayat mutasyabih mengenai sifat Allah dapat disimpulkan bahwa kaum
salaf mensucikan Allah dari makna lafadz dan menyerahkan hakikat maknanya
kepada Allah. Lain halnya dengan kaum Khalaf, mereka mengartikan bahwa kata
istiwa’ dengan Maha Berkuasa Allah dalam menciptakan segala sesuatu tanpa
usaha.
Untuk melengkapi
pembahasan ini ada baiknya dipaparkan tentang beberapa ayat Al-Qur’an yang
menyebutkan sifat-sifat mutasyabihat-Nya seperti :
1. QS. Tahaha ayat 5 : Artinya
“(Allah) maha pengasih bersemayam di atas arsy”.
2. QS. Al Fajr ayat 2 : Artinya
“ dan datanglah kepada Tuhamu sedang para Malaikat berbaris-baris.
3. QS. Al An’am ayat 61 : Artinya
“ dan dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di atas hamba-hamba-Nya.
4. QS. Ar Rahman ayat 27 : Artinya
: “ dan tetapi kekal wajah Tuhamu “
5. QS. Thaha ayat 39 : Artinya
“ Tangan Allah diatas mata-ku”
6. qs. Al Fath ayat 10: Artinya
“ Tangan Allah diatas tangan mereka “.
7. QS. Ali Imran mengenai ayat 28 :
Artinya
“ Allah memperingatkan kamu terhadap diri-Nya”.
Demikianlah
beberapa contoh ayat-ayat mutasyabih tentang sifat-sifat Allah dan masih banyak
ayat-ayat mengenai masalah ini yang belum sempat diungkapkan dalam buku ini.
Yang jelas pada ayat-ayat tersebut terdapat kata-kata bersemayam, dating,
diatas, sisi, wajah, mata, tangan dan diri yang dijadikan “ sifat Allah”.
Kata-kata tersebut menunjukkan keadaan, tempat, dan anggota yang layak dipakai
bagi makhluk yang baru, misalnya manusia. Karena kata-kata tersebut dibangsakan
yang Qadim (Allah) maka sulit dipahami akan maksud yang sebenarnya. Itulah
sebabnya ayat-ayat tersebut dinamakan mutasyabih. Jika ditanya apakah maksud
yang sebenarnya dari ayat-ayat tersebut.
Dalam rangka
menjawab pertanyaan tersebut Subhi
Sholih mengemukakan pendapat dua kelompok muzhab, yaitu salaf dan khalaf.
- Muzhab Salaf
Kelompok ini mempercayai dan mengimani ayat-ayat
(tentang sifat-sifat) mutasyabih itu dan menyerahkan hakikatnya kepada Allah,
Mereka tetap mensucikan Allah dari makna-makna lahir yang mustahil atau tidak
mungkin bagi Allah. Dan mereka mengimaninya sebagaimana diterangkan Al-Qur’an
serta menyerahkan urusan hakikat sebenarnya kepada Allah”.
- Muzhab Khalaf
Kelompok ini adalah kelompok ulama yang menakwilkan lafadz yang makna lahirnya
itu mustahil kepada makna yang lain yang sesuai dengan zat Allah. Kelompok ini
lebih dikenal dengan nama muawwilah atau muzhab takwil. Mereka menakwilkan
semua sifat-sifat yang terdapat pada yat-ayat mutasyabih di atas dengan
takwilan yang rasional. Istiwa’ mereka takwilkan dengan pengendalian Allah
terhadap alam ini tanpa merasa kesulitan. Kedatangan Allah mereka artikan
dengan kedatangan perintah-Nya. Allah berbeda di atas hamba-Nya diartikan
dengan Allah maha tinggi, bukan berada pada suatu tempat. Kata sisi mereka
artikan hak Allah. Wajah mereka artikan zat Allah. Mata mereka artikan dengan
pengawasan. Tangan mereka artikan kekuasaan Allah. Diri mereka artikan dengan
siksaan –Nya.
E. Kaidah-Kaidah Muhkam dan
Mutasyabih
Kaidah-kaidah yang dapat ditarik dari berbagai macam
muhkam dan mutasyabih yang ada dalam Al-Qur’an adalah sebagai berikut :
- Jika suatu lafadz menunjukkan
dalalahnya dengan secara nyata, jelas, parti serta tidak ada kemungkinan
untuk di ta’wilkan atau ditashishkan atau dinaskh (setelah masa kenabian,
maka ia adalah muhkam.
- Muhkam dalam nash Al-Qur’an yang
boleh di ta’wilkan kepada makna yang lain dan jika amin tidak boleh
ditakhishkan, maka muhkam seperti ini disebut dengan mufashsha dan mufass
dengan tafsir yang tidak boleh ada keraguan di dalamnya.
- Setiap nash Al-Qur’an yang
berkenan dengan pokok-pokok ajaran agama seperti imam kepada Allah,
keesaan Allah, dan iman kepada malaikat, Rasul, dan kitab-kitab yang
diturunkan kepada mereka serta iman kepada hari akhir dan tentang hal-hal
yang telah terjadi dan akan terjadi, maka ia termasuk muhkam.
- Setiap nash yang menunjukkan akan
keutamaan-keutamaan, akhlak, dan sifat budi pekerti yang baik, seperti
jujur, amanah, dan lainnya termasuk muhkam.
- Mutasyabihat adalah setiap lafadz
yang telah diketahui maknanya, akan tetapi dita’wilkan.Sebagaimana
ayat-ayat yang berkenaan dengan sifat-sifat atau dzat Allah SWT.
“Yadu Allah fauqa aidihim” (tangan Allah di atas tangan-tangan
mereka), maksudnya bukanlah seperti tangan yang diketahui secara umum, sehingga
boleh dita’wilkan dengan qudrah atau kekuasaan.
F. Hukum Muhkam dan
Mutasyabih
Hukum muhkam adalah wajib diyakini dan dikerjakan
seperti yang telah diwajibkan untuk dimani tanpa ada keraguan dan
kemungkinan-kemungkinan yang lain.
Makna dari muhkam
tidak dapat dipalingkan kepada arti yang lain, sebagaimana ia tidak mungkin
untuk dinasakh. Dengan demikian maka dalalahnya terhadap suatu hokum tertentu
lebih kuat dari seluruh jenis dalalah-dalalah yang harus mengikuti dalalah yang
terdapat dalam muhkam ini.
Apabila terdapat
suatu pertentangan dengan yang lain maka muhkam lebih layak di dahulukan,
bahkan dalah-dalalah yang lain harus mengikuti dalalah yang terdapat dalam
muhkam ini.
Adapun hokum
mutasyabih harus ditawaqqufkan dari penta’wilannya di dunia. Disamping itu,
harus diyakini maksud kebenarannya hanya kepada Allah SWT, sebagaimana firman
Allah tentang orang-orang yang mendalami
dalam penta’wilan mutasyabih.
“Sedang orang-orang yang dalam hatinya
condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang
mutasyabih untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta’wilnya, adalah
tidak ada yang mengetahui ta’wilnya kecuali Allah. Tawaqquf atau berhenti
di sini adalah benar sebagaimana kesepakatan sahabat Rosul yang mendengar
Al-Qur’an secara langsung dari Rasulullah SAW, sedangkan isti’naf memulai dari ini adalah keterangan bahwa orang-orang yang
mendalam ilmunya berkata : kami beriman kepada Allah, yang berarti menyerahkan
makna mutasyabih ini sepenuhnya kepada Allah, karena merupakan rahasia-rahasia
yang hanya diketahui oleh Allah SWT sendiri.
KESIMPULAN
Dari pembahasan di
atas dapat kami simpulkan bahwa Al-Qur’an tidak hanya berisi ayat-ayat muhkam
saja, tapi juga berisi ayat-ayat mutasyabih yang barang kali akan senantiasa
menjadi pendorong kaum mukmin untuk terus menerus menggali berbagai ilmu
menurut batas kesanggupannya dalam memahami ayat-ayat mutasyabih. Dengan
demikian Tidak ada keraguan akan salah pengertian terhadap Allah
kitab-kitab-Nya dan Rosul-Nya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Mawardi.
2010.Ulumul Qur’an . Jember : Pustaka
Pelajar.
Anwar, Abu. 2002. Ulumul Qur’an. Pekanbaru: Amzah
Halimatussa’diyah.
2006. Ulumul Qur’an. Palembang : IAIN Raden Fatah Press.